Di tengah keteduhan Hutan Harapan Jambi yang lestari, aroma lembut vanila menyusup di antara deru dedaunan dan kicauan burung. Dari tanggal 9 hingga 17 April 2025, Tim Bisnis dan Agroforestri PT. REKI bersama beberapa petani vanila berkumpul dalam sebuah pelatihan penting: Pasca Panen Vanilla, yang diadakan di Base Camp Hutan Harapan. Di antara tokoh sentral dalam pelatihan ini hadir Nuning S. Barwa—seorang figur inspiratif yang memadukan dunia konservasi dan bisnis, menjabat sebagai Ketua Dewan Perhimpunan Burung Indonesia, Patron Yayasan Konservasi Ekosistem Hutan Indonesia, sekaligus penasihat korporat Martha Tilaar Group.

Vanila bukan sekadar tanaman komoditas. Dalam sistem agroforestri yang berkelanjutan, ia menjadi simbol ketekunan menjaga hutan dan memperjuangkan ekosistem yang seimbang. Budidaya vanila dengan pendekatan wanatani—di mana tanaman ini tumbuh berdampingan dengan pohon penaung seperti pisang, alpukat, dan kayu keras tropis—menghadirkan kolaborasi alami yang memperkuat keberlangsungan ekologi sekaligus memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.

Dalam pelatihan ini, peserta diajak mengenal lebih dekat vanilla gourmet, produk unggulan dari Vanilla planifolia. Jenis vanila ini dikenal akan kadar vanilin yang tinggi, aroma kompleks, dan kelembapan yang terjaga dengan baik. Semua keunggulan itu tidak hadir begitu saja. Dibutuhkan proses pasca panen yang teliti dan penuh kesabaran, mulai dari fermentasi hingga pengeringan, untuk menghasilkan vanila dengan mutu tinggi yang mampu bersaing di pasar internasional.

“Pasca panen adalah fase krusial. Di sinilah kualitas ditentukan,” tegas Nuning dalam sesi pemaparan. Ia menekankan pentingnya ketelitian dalam setiap tahap, karena dari sinilah nilai tambah vanila diciptakan. Namun, jalan menuju kualitas tidak selalu mudah. Petani dihadapkan pada tantangan seperti hama, penyakit, dampak perubahan iklim, hingga keterbatasan pengetahuan teknis.

Di hari pertama pelatihan, Direktur PT. REKI turut menyambut langsung kehadiran para pelatih dan peserta. Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya membangun sinergi antara pengetahuan lokal, praktik konservasi, dan inovasi bisnis yang berkelanjutan.

“Kami melihat vanila bukan hanya sebagai peluang ekonomi, tapi juga sebagai jalan untuk merekatkan kembali hubungan manusia dengan hutan. Kehadiran pelatih-pelatih berpengalaman seperti Ibu Nuning S. Barwa dan tim merupakan kehormatan bagi kami,” ungkapnya. “Pelatihan ini adalah bentuk nyata dari komitmen kita untuk menjadikan Hutan Harapan bukan hanya kawasan konservasi, tetapi juga ruang belajar bersama yang hidup dan berdampak.”

Ia juga menyampaikan bahwa keberhasilan program agroforestri seperti ini sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor, mulai dari petani, pemerintah, pelaku bisnis, hingga masyarakat adat. “Kita tidak bisa menjaga hutan hanya dengan larangan. Kita harus menciptakan alasan hidup bersama hutan. Dan vanila adalah salah satu jawabannya.”

Bersama para pemateri lain seperti Hendrikus Hadirman dari Flores NTT, dan Wardoyo dari Mesuji, pelatihan ini juga menggali lebih dalam peran strategis sistem wanatani dalam mendukung konservasi jangka panjang. Agroforestri bukan hanya soal bertanam, tetapi tentang membangun keseimbangan antara alam dan kebutuhan manusia. Dari penyerapan karbon, perlindungan keanekaragaman hayati, hingga peningkatan kesejahteraan petani, semuanya terikat dalam satu ekosistem yang saling menguatkan.

Namun, industri vanila juga membawa paradoks. Ketika permintaan pasar meningkat, potensi alih fungsi lahan pun mengintai. Tanpa pengelolaan bijak, tekanan terhadap kawasan hutan justru bisa meningkat. Konversi hutan menjadi lahan pertanian intensif bisa mengancam ketahanan pangan, merusak fungsi ekosistem, dan memperburuk kerentanan masyarakat adat.

Pelatihan ini menjadi pengingat bahwa pertanian dan konservasi bukan dua hal yang bertentangan. Justru, keduanya bisa saling menopang jika dijalankan dengan prinsip keberlanjutan. Dalam aroma harum vanila, tersimpan harapan akan masa depan yang lebih hijau dan adil. “Vanila bukan sekadar komoditas,” tutur Nuning menutup pelatihan dengan penuh makna. “Ia adalah jembatan antara manusia dan alam. Merawatnya, berarti merawat masa depan kita bersama.” (NFS/HH)