Kami bermitra dengan beragam kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Hutan Harapan guna memperkuat upaya pemulihan dan perlindungan Hutan Harapan, khususnya dengan masyarakat adat Batin Sembilan yang sejak lama mendiami kawasan hutan dataran rendah tersisa di Jambi dan Sumatera Selatan.
Potret masyarakat Batin Sembilan nomadan. Foto: Hutan Harapan/Ardi Wijaya
Kemitraan strategis ini diiringi pemberdayaan masyarakat, baik dari aspek sosial maupun ekonomi melalui kegiatan pendididikan dan layanan kesehatan dasar, agroforestri serta silvopastura. Kami membuktikan bahwa restorasi ekosistem juga memberi ruang kepada masyarakat dan ekonomi lokal untuk berkembang.
Kami turut memfasilitasi pembentukan kelembagaan melalui kelompok tani (KT), dan kelompok tani hutan (KTH), baik untuk masyarakat Batin Sembilan, Melayu maupun migran. Selain itu, kami juga melakukan kerja sama strategis dengan para pihak baik itu pemerintah, swasta, maupun LSM guna menjaga stabilisasi kawasan hutan.
Kegiatan Sekolah Besamo tidak hanya berlangsung di sekolah, juga di luar gedung, atau disebut juga sekolah kunjung. Foto: Hutan Harapan/Ardi Wijaya
Selengkapnya Tentang Kemitraan Strategis dan Pemberdayaan Ekonomi
KEMITRAAN STRATEGIS DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI
Hutan Harapan dihuni tiga kelompok masyarakat, yakni Batin Sembilan, Melayu, dan migran. Mereka sudah lama berinteraksi dengan hutan, dengan sumber penghidupan dari kayu, HHBK hingga membuka lahan. Kemitraan strategis merupakan pendekatan yang diterapkan manajemen Hutan Harapan bersama masyarakat sekitar Hutan Harapan dalam membangun masa depan yang lebih baik, seiring dengan upaya pemulihan ekosistem hutan. Kemitraan strategis ini diiringi pemberdayaan masyarakat, baik dari aspek sosial maupun ekonomi. Selaku pengelola Hutan Harapan, PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) tengah mempraktikkan bahwa restorasi ekosistem juga memberi ruang kepada masyarakat dan ekonomi lokal untuk berkembang.
Presiden Direktur PT REKI Mangarah Silalahi bersama peneliti dan masyarakat Batin Sembilan sebelum penanaman di Demplot Agroforestri Batin Sembilan. Foto: Hutan Harapan/Ardi Wijaya
Konten:
I. Mitra Strategis Hutan Harapan
I.1 Masyarakat Adat Batin Sembilan
Batin Sembilan merupakan salah satu masyarakat adat, yang tinggal tersebar di sekitar Hutan Harapan. Mengaku sebagai keturunan dari Kesultanan Jambi yang berkuasa di tahun 1790, mereka menyebut dirinya “Batin Sembilan”, yang secara politik berarti “penduduk yang pertama datang, tinggal di pedalaman, dan memiliki hak terhadap sumber daya alam.” Secara tradisional mereka menguasai sembilan anak sungai yang bermuara ke Sungai Batanghari, yakni Sungai Bulian, Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis. Sungai Semusir dan Sungai Burung Hantu.
Batin Sembilan mengembangkan sebuah kosmologi yang merefleksikan interaksi yang panjang dengan lingkungan alam. Hutan adalah lahan untuk melakukan perladangan gilir balik, mencari hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan tempat berburu. Secara sosial hutan sebagai tempat persemayaman roh-roh gaib dan leluhur mereka. Secara ekologi, hutan menyediakan sumber air bersih, penyeimbang iklim mikro, dan merepresentasikan keseimbangan kosmologi mereka. Oleh karena itu, jika hutan rusak, dapat dikatakan “kematian budaya” bagi Batin Sembilan.
Masyarakat Batin Sembilan saat berada di pondoknya di wilayah Meranti, Sumatera Selatan.
Foto: Hutan Harapan/Ardi Wijaya
Orang Batin Sembilan memiliki pengetahuan tradisional terhadap persebaran HHBK dan masa panennya. Pola keruangan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang mereka praktikkan sangat mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang. Pola ini tidak hanya mendukung kegiatan restorasi ekosistem di Hutan Harapan, tetapi di sisi lain keberlanjutan sosial-ekonomi dan cara hidup mereka pun terjamin.
Berdasarkan identifikasi di lapangan 2019, jumlah orang Batin Sembilan di dalam Hutan Harapan mencapai 251 keluarga (rincian persebaran, lihat tabel 1). Sedangkan hasil survei Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 1998 mencatat, jumlah populasi Batin Sembilan mencapai 1,491 keluarga, yang tersebar di 20 desa di tiga kabupaten (Batanghari, Muara Jambi dan Sarolangun) di Provinsi Jambi, dan sebagian kecil di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Tabel 1: Jumlah KK masyarakat adat Batin Sembilan di Hutan Harapan

I.2 Masyarakat Melayu
Jumlah orang Melayu di dalam konsesi Hutan Harapan relatif kecil, yakni 32 keluarga berdasarkan hasil identifikasi tahun 2019, dan bergabung dalam kelompok kecil atau rompok yang tinggal di sepanjang Sugai Kapas yang secara administratif masuk Provinsi Sumatera Selatan. Mata pencaharian mereka umumnya bersumber dari HHBK seperti getah karet, memungut hasil hutan.
Di luar itu, ada satu desa yang berlokasi tepat di bibir perbatasan sisi Tenggara Hutan Harapan, yakni Sako Suban, Sumatera Selatan, yang berpenduduk sekitar 760 jiwa. Namun, sebagian besar warga desa ini bermukim di sepanjang DAS dan sub-DAS Kapas sub-DAS Meranti yang masuk kawasan Hutan Harapan. Mata pencarian mereka masih mengandalkan pada HHBK dan karet alami yang ada di sekitar pemukiman.
Tabel 2: Jumlah KK Masyarakat Melayu dalam Hutan Harapan

I.3 Masyarakat Migran
Kelompok migran adalah penghuni terbanyak Hutan Harapan dan sudah ada sebelum PT REKI mendapat izin IUPHHK-RE, dengan jumlah ribuan keluarga (lihat tabel 3). Arus pendatang ini sudah dimulai awal 2000 seiring berakhirnya izin dua HPH, yang berlanjut hingga 2006. Gelombang besar migran, yang berasal dari luar Jambi dan Sumatera Selatan, terjadi pada 2008, saat PT REKI mengawali kegiatan. Periode 2010-2014, arus migrasi ke Hutan Harapan masih terus berlangsung karena diakomodasi dan didukung organisasi tertentu.
Ada juga migran yang berasal dari permukiman transmigrasi sekitar Hutan Harapan. Mereka adalah generasi kedua yang membutuhkan lahan baru untuk pertanian karena di lokasi lama sudah tidak mencukupi. Selain itu, ada satu kelompok migran asal Lampung, yang sebelumnya transmigran asal Bali berjumlah 150 keluarga. Mereka bermukim di sepanjang DAS Kapas dalam kawasan Hutan Harapan yang berada di wilayah Sumatera Selatan.
Tabel 3: Jumlah KK Masyarakat Migran dalam Hutan Harapan
II. Merajut Kemitraan Strategis melalui Perhutanan Sosial
Secara umum, kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan luar Hutan Harapan terbagi dalam tiga tipologi. Tipoligi pertama tinggalk di dalam Hutan Harapan, yakni Batin Sembilan dalam jumlah kecil yang cenderung memanfaatkan HHBK, dan kaum migran dalam jumlah besar dengan kegiatan mengklaim lahan yang digarap sebagai hak milik.
Presiden Joko widodo menyerahkan simbolis SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) kepada Tanding, tokoh masyarakat Batin Sembilan.
Foto : Istimewa
Tipologi kedua yang tinggal di luar Hutan Harapan, yakni masyarakat Melayu dari dua provinsi dengan aktivitas berbeda. Untuk Melayu dari Desa Sipintun, Lamban Sigatal dan Bungku, Kabupaten Sarolangun dan Batanghari Jambi, masyarakat berinteraksi ke dalam Hutan Harapan untuk memanfaatkan HHBK. Sedangkan Melayu yang masuk Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, masyarakat berinteraksi ke dalam kawasan untuk memanfaatkan kayu, dan mengembangkan karet.
Tipologi ketiga adalah generasi kedua transmigran yang permukimannya tak jauh dari Hutan Harapan. Kelompok ini cenderung agresif mencari lahan memenuhi kebutuhan ekonomi untuk ditanami kelapa sawit.
Menyadari tingginya mobilitas penduduk dan “daya tarik” Hutan Harapan, manajemen Hutan Harapan mendorong pelaksanaan regulasi terkait pemberian hak pengelolaan hutan kepada masyarakat, yakni Permen LHK No. P.83/2016 tentang perhutanan sosial. Melalui Permen ini, program perhutanan sosial akan menempatkan masyarakat sebagai mitra kehutanan dalam meningkatkan taraf hidup sekaligus melindungi Hutan Harapan.
Hingga saat ini sudah ada delapan kelompok masyarakat yang bermitra dengan Hutan Harapan, sebagaimana terlihat di tabel 5 berikut. Mereka mengelola lahan sekitar 1.921 hektar di dalam kawasan Hutan Harapan.
Tabel 5: Program Perhutanan Sosial bersama Mitra Strategis di Hutan Harapan
Sebanyak 7 kelompok masih dalam proses menuju kesepakatan, dan diharapkan akan menjadi mitra strategis dalam waktu dekat. Sementara itu, belasan kelompok belum sepakat dengan isi perjanjian, meski sudah beberapa kali bertemu, karena keinginan mereka bertolak belakang dengan regulasi yang ada. Kendati demikian pendekatan persuasif terus dilakukan, sehingga hutan yang telah diokupasi sebelumnya tetap dikelola sesuai prinsip konservasi.
III. Implementasi Kegiatan Bersama Batin Sembilan
Masyarakat Batin Sembilan adalah kelompok yang mendapat perhatian dalam peningkatan kapasitas, terutama terkait Indeks Kesejahteraan Masyarakat (IKM). Kegiatannya diwujudkan melalui, a) Sekolah Besamo sebagai layanan pendidikan dalam rangka menurunkan angka buta aksara dan peningkatan partisipasi pendidikan, b) Klinik Besamo sebagai layanan kesehatan dalam rangka mendorong peningkatan angka harapan hidup.
III.1 Sekolah Besamo
Sekolah Besamo adalah sebuah solusi untuk mengatasi masalah buta huruf bagi masyarakat Batin Sembilan. Siswanya adalah anak-anak pada rentang usia sekolah. Dikelola dua guru, sekolah ini awalnya hanya mengajarkan pengetahuan praktis, yakni baca-tulis-hitung (Calistung), sesuai kebutuhan saat itu. Dengan memiliki pengetahuan praktis ini, mereka diharapkan mudah berinteraksi dengan orang luar, termasuk saat bertransaksi yang membutuhkan kemampuan Calistung.
Menteri Kerja Sama dan Pembangunan Denmark, Ulla Tornaes berfoto bersama anak-anak Sekolah Besamo usai Peresmian gedung Sekolah Besamo tahun 2017.
Foto: Hutan Harapan
Sejak dibuka tahun 2008 hingga awal 2020, tercatat 75 anak-anak Batin Sembilan belajar di Sekolah Besamo. Sebanyak 53 orang (70 persen) di antaranya sudah memiliki kemampuan dasar Calistung, dan sisanya 22 siswa (30 persen) masih kesulitan mengikuti dan menangkao kegiatan belajar-mengajar. Kendati demikian, kehadiran Sekolah Besamo mendapat sambutan positif baik dari orang Batin Sembilan maupun pemerintah setempat. Dinas Pendidikan Kabupaten Batanghari menjadikan Sekolah Besamo sebagai kelas jauh atau cabang dari SDN 41 di Desa Bungku. Tujuannya, agar siswa kelas 6 Sekolah Besamo bisa mengikuti ujian akhir nasional untuk mendapatkan ijazah.
Suasana belajar di Sekolah Besamo.
Foto: Hutan Harapan/Ardi Wijaya
Dikelola dua tenaga guru, kegiatan Sekolah Besamo tidak hanya berlangsung di sekolah, juga di luar gedung, atau disebut juga sekolah kunjung. Guru akan mengunjungi siswa yang mengikuti orangtua mencari HHBK atau sedang memanen karet di ladang yang jauh dari tempat tinggal mereka. Tidak heran jika jumlah siswa Sekolah Besamo yang aktif dan tidak aktif cenderung berubah-ubah setiap tahun, sebagaimana grafik di halaman berikut.

Hingga tahun ajaran 2019/2020, Sekolah Besamo sudah meluluskan 14 siswa, enam siswa melanjutkan ke jenjang SMP yang berlokasi di Desa Bungku. Sebanyak 4 siswa lulus SMP, satu di antaranya mengikuti pendidikan di TNI, sedang 2 siswa tidak tamat karena menikah.
Sekolah Besamo tidak hanya mengajarkan pelajaran semata, tapi juga membekali siswa dengan keterampilan praktis, agar trampil dan mudah beradaptsi seandainya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Materi yang diberikan mulai mengelola keuangan, beternak, berkebun palawija dan hortikultura hingga latihan pertolongan kecelakaan (P3K).
III.2 Klinik Besamo
Perawat sedang memeriksa kesehatan masyarakat Batin Sembilan di Klinik Besamo.
Foto : Hutan Harapan/Aulia Erlangga
Klinik Besamo melayani masyarakat Batin Sembilan sejak 2012, karena mereka kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan, dan hanya ada di Desa Bungku berjarak sekitar 5 km dari Hutan Harapan. Dilayani dua tenaga paramedis, orang Batin Sembilan mengobati berbagai penyakit mereka ke Klinik Besamo.

Berdasarkan rekap data, jumlah kunjungan orang Batin Sembilan pada periode tahun 2012 – 2019 mencapai 4.147 pasien. Jumlah pasien Klinik Besamo terus bertambah seiring meningkatkan kesadaran masyarakat, sehingga mendapat bantuan dan pengawasan dari Puskesmas Bajubang, Jambi. Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari juga menugaskan seorang dokter, yang bertugas on-call alias datang saat dibutuhkan Klinik Besamo. Di luar itu, dokter yang sama secara rutin berkunjung sebulan sekali ke Klinik Besamo.

IV. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
IV.1 Agroforestri
Agroforestri merupakan program pemberdayaan ekonomi dengan kelompok masyarakat yang sudah menjadi mitra strategis. Hingga akhir 2019, lahan Hutan Harapan seluas 79 hektar sudah dikelola empat kelompok masyarakat Batin Sembilan untuk pengembangan karet. Orang Batin Sembilan lebih diprioritaskan di sektor ini agar bisa cepat memberi hasil, mengantisipasi penjualan lahan kepada pihak lain guna menunjang kehidupan mereka.
Masyarakat Batin Sembilan menanam komoditi karet, jenis kayu-kayuan, dan buah berbasis kayu di kebun Agroforestrinya.
Foto : Hutan Harapan/Aulia Erlangga
Sementara itu, untuk masyarakat Melayu, agroforestri dikembangkan di Kapas Tengah dengan luas 2,34 hektar. Sedang kelompok migran sudah dikembangkan di Kunangan Jaya I seluas 25,22 hektar dan Kunangan Jaya II seluas 4,42 hektar. Agroforestri menitikberatkan pada komoditi karet, jenis kayu-kayuan, dan buah berbasis kayu, sesuai prinsip restorasi.
Selain menanam komoditi karet, jenis kayu-kayuan, dan buah berbasis kayu, masyarakat Melayu Kapas Tengah menanam komoditi Hortikultura di kebun Agroforestri.
Foto : Hutan Harapan/Ardi Wijaya
IV.2 Kemitraan Usaha Silvopastura
Hutan Harapan sudah membangun kemitraan usaha melalui kegiatan silvopastura –beternak sapi dalam satu sistem pengelolaan lahan– dengan dua kelompok masyarakat, yakni KTH Bungin Mandiri dan KT Berkah Jaya pada 2018. Kemitraan usaha silvopastura ini akan dikembangkan ke semua kelompok masyarakat yang sudah bermitra karena memberi manfaat ekonomi berkelanjutan dengan mengoptimalkan lahan untuk menambah pendapatan, sehingga dapat mengurangi tekanan dan ancaman terhadap kawasan hutan.
Presiden Direktur Mangarah Silalahi memberikan secara simbolis sapi ternak kepada ketua kelompok Tani di Kunangan Jaya 1.
Foto : Hutan Harapan/Ardi Wijaya
V. Peningkatan Kapasitas Masyarakat dan Kelembagaan
Manajemen Hutan Harapan memfasilitasi pembentukan kelembagaan melalui kelompok tani (KT), dan kelompok tani hutan (KTH), baik untuk masyarakat Batin Sembilan, Melayu maupun migran. Jika sebelumnya sudah ada kelompok, tetapi tidak aktif, dilakukan revitalisasi. Jika belum ada, baru dibentuk kelompok. Tujuannya untuk mendorong masyarakat mudah bekerja sama dalam menghadapi masalah dan dalam jangka panjang diharapkan lebih mandiri dalam mengatasi masalah. Sekaligus bermanfaat melakukan kerja sama dengan kelompok lain, termasuk instansi pemerintah dalam penyaluran program pemberdayaan masyarakat.
Sosialisasi dan fasilitasi pembentukan kelembagaan melalui Kelompok Tani dan Kelompok Tani Hutan.
Foto: Hutan Harapan/Ardi Wijaya
Melalui kelompok ini pula, manajemen Hutan Harapan lebih mudah membentuk kelompok untuk kemitraan strategis. Sejak 2015, sudah terbentuk delapan kelompok tani (KT) dan kelompok tani hutan (KTH). Sebanyak empat kelompok berasal dari Batin Sembilan, tiga dari penduduk migran dan satu dari masyarakat Melayu.
Pembentukan kelembagaan untuk Batin Sembilan lebih diprioritaskan karena mereka belum menjadi bagian dari program maupun kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Mereka sudah lama belum memiliki identitas kependudukan berupa KTP, yang selalu menjadi persyaratan agar bisa dapat bantuan dari pemerintah. Manajemen Hutan Harapan memfasilitasi pengurusan KTP langsung ke kantor Dinas Kependudukan Kabupaten Batanghari, Jambi, dan saat ini tengah dilakukan perekaman data kependudukan.
Peningkatan kapasitas juga diberikan kepada kelompok masyarakat yang sudah terbentuk, dengan membuka akses mendapatkan pelatihan. Sepanjang 2017 hingga 2019, beberapa kelompok sudah mengikuti pelatihan, antara lain: i) pelatihan pengolahan lahan dan pembuatan pupuk organik; ii) pelatihan budidaya madu dan karet; iii) studi banding pemanfaatan lahan pekarangan dengan mengunjungi kebun-kebun di Kota Jambi, iv) pelatihan budidaya lebah madu dan magang di demplot lebah madu PT AAS. Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagan terus dioptimalkan agar tercipta kemandirian dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan sosial ekonomi dan lingkungan.
VI. Kerjasama Strategis Dengan Para Pihak
Manajemen Hutan Harapan melibatkan para pihak untuk memberi dukungan baik yang terkait dengan restorasi ekosistem maupun dengan masyarakat sekitar Hutan Harapan. Kerja sama dilakukan dengan instansi pemerintah tingkat pusat, provinsi dan kabupaten, serta pihak swasta. Kerja sama di tingkat provinsi dan kabupaten sudah dilakukan sejak lama, yakni Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan, tim terpadu, serta Satgas Karhutla.
Tim Community Partnership rapat bersama masyarakat Batin Sembilan, masyarakat sekitar kawasan, perusahaan swasta, dan pihak pemerintah daerah.
Foto : Hutan Harapan/Hospita YS
Kerja sama dengan swasta berhubungan dengan produksi dan pemasaran produk. Seperti PT AAS untuk lebah madu, dan PT Hoktong untuk karet dan perusahan lain. Sementara itu, kerja sama juga dilakukan bersama sejumlah LSM baik di Jambi maupun Sumatera Selatan. Kerja sama untuk peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan dengan KKI Warsi, CAPPA, Mitra Aksi, Prana, HaKI, sementara itu kerja sama untuk penyelamatan hutan tropis dataran rendah Sumatera dilakukan bersama koalisi 36 LSM dari Jambi dan Sumatera Selatan. (*)