Hutan Harapan – Jambi. Rabu sore, 14 Mei 2025, suasana ruang Departemen Antropologi FISIP Universitas Andalas terasa berbeda. Kedatangan Tim PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) dari Jambi menghadirkan semangat baru bagi mahasiswa dan dosen yang menyambut rombongan usai melakukan studi banding budidaya gambir dan pengelolaannya di wilayah Kabupaten 50 Kota Propinsi Sumatera Barat.

Dalam kunjungan singkat namun bermakna ini, Tim REKI yang langsung dipimpin Adam Sang Direktur berbagi pengalaman lapangan mengenai kerja-kerja restorasi ekosistem yang tak hanya berkutat pada aspek kehutanan, tapi juga sangat dekat dengan nilai-nilai antropologi: menghargai kearifan lokal, membangun kepercayaan dengan masyarakat adat, serta menciptakan relasi jangka panjang yang adil dan setara antara manusia dan alam.

Bagi mahasiswa antropologi, momen ini menjadi jendela nyata melihat bagaimana ilmu yang mereka pelajari berakar dan berdenyut di tengah masyarakat. Diskusi dadakan nan Santai sambil lesehan ini berjalan aktif—dari pertanyaan tentang teknik pendekatan partisipatif hingga bagaimana dinamika sosial dalam kawasan hutan dikelola tanpa mengabaikan konflik dan sejarahnya.

Sidharta Pujiraharjo, dosen senior di Departemen Antropologi, mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kunjungan ini.

“Alhamdulillah, kami sangat berterima kasih kepada Pak Adam dan Tim REKI dari Jambi atas kedatangannya di Departemen Antropologi. Ini adalah sebuah keberuntungan bagi mahasiswa kami, yang mendapatkan pencerahan langsung mengenai hubungan antara hutan dan masyarakat di sekitarnya. Semoga REKI semakin maju dan sukses ke depannya,” tuturnya.

Kunjungan ini terasa istimewa, tidak hanya karena kehadiran tim lapangan REKI, tetapi juga karena dipimpin langsung oleh Adam, yang juga merupakan alumni Antropologi Universitas Andalas. Dalam diskusi tersebut, Adam mengaku kunjungan ke kampus almamater ini membangkitkan banyak kenangan.

“Bagi saya, kembali ke kampus ini bukan hanya nostalgia, tapi juga sebuah tanggung jawab. Ilmu antropologi yang saya pelajari di sini telah membentuk cara pandang kami di REKI dalam merancang pendekatan sosial di kawasan restorasi. Kami percaya bahwa tanpa pemahaman terhadap manusia dan kebudayaannya, pelestarian hutan akan pincang,” ujar Adam.

Ia berharap lebih banyak lulusan antropologi yang turun ke lapangan, tidak hanya sebagai peneliti, tapi juga sebagai pelaku perubahan sosial dan ekologis.

Diskusi diakhiri dengan harapan agar kerja sama akademik dan praktis antara kampus dan lembaga seperti REKI dapat terus diperkuat. Sebab di era krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin nyata, jembatan antara teori dan praktik sangat dibutuhkan.

Hari itu, mahasiswa tidak hanya mendengar cerita tentang hutan, tetapi juga melihat bagaimana akar pengetahuan dan akar kehidupan bisa bertemu, saling menguatkan, dan menumbuhkan harapan baru untuk bumi yang lestari.

Kisah dari Hutan Harapan bukan sekadar tentang menyelamatkan pohon-pohon atau spesies langka. Ia adalah cermin masa depan kita sebagai manusia—apakah kita memilih jalan eksploitasi yang cepat namun rapuh, atau jalan kolaboratif yang pelan tapi berkelanjutan. Dalam upaya menjaga hutan, sesungguhnya yang dijaga adalah kehidupan, kebudayaan, dan keberlanjutan antar generasi.

Di titik inilah, kampus dan ilmu antropologi memegang peran yang sangat strategis. Kampus adalah ruang intelektual yang mampu merawat kepekaan dan nurani, sementara antropologi menawarkan lensa yang tajam dan manusiawi untuk memahami kompleksitas hubungan antara masyarakat dan lingkungannya. Keduanya bisa menjadi mitra penting dalam menjaga hutan bukan hanya sebagai ekosistem, tetapi juga sebagai ruang hidup yang penuh makna sosial dan budaya.

Kunjungan PT REKI ke Departemen Antropologi Universitas Andalas menjadi jembatan awal yang menjanjikan. Meski belum terjalin kolaborasi formal, pertemuan ini membuka ruang harapan: bahwa di masa depan, kerja sama antara pelaku konservasi dan dunia akademik—terutama antropolog—dapat tumbuh dan saling menguatkan. Kampus dapat menjadi pusat refleksi dan kontribusi, sementara lapangan menjadi laboratorium hidup yang memperkaya pengetahuan.

Manusia dan hutan bukan dua entitas yang terpisah. Keduanya telah lama tumbuh bersama, dan seharusnya juga bertahan bersama. Menjaga Hutan Harapan bukan sekadar tugas ekologis, tetapi juga panggilan kebudayaan dan kemanusiaan. Semoga pertemuan ini menjadi awal dari sinergi yang lebih besar di masa depan—antara pengetahuan dan praktik, antara kampus dan hutan, antara harapan dan kenyataan. (HH/NFS)