Ditulis oleh: Aldian Adam Faris
Jambi, Hutan Harapan – Selama tiga hari, sejak Sabtu 5 Juli hingga Senin 7 Juli 2025, kami mahasiswa magang Universitas Brawijaya mengikuti kegiatan pengamatan burung di Masai Rusa, kawasan Hutan Harapan, sebuah wilayah Hutan Sekunder Tinggi yang masih cukup utuh di dalam konsesi Hutan Harapan. Pengamatan ini dipimpin langsung oleh Bas van Balen, seorang ornitologis senior asal Belanda yang sudah puluhan tahun meneliti burung-burung di Indonesia. Bersama kami, hadir pula Bang Aman dari Departemen Riset dan Konservasi PT REKI, serta Gerrit dan Olivia dari organisasi konservasi burung asal Inggris, The Royal Society for the Protection of Birds (RSPB). Selama kegiatan, pengamatan difokuskan pada dua jalur transek yang mencakup 11 plot, dengan masing-masing plot diamati selama 12 menit.
Setiap pagi, kami memulai pengamatan sejak fajar menyingsing. Suasana hutan di Masai Rusa saat itu terasa begitu hidup suara kicauan burung datang dari segala arah. Pak Bas mengajarkan kami cara mengenali spesies burung berdasarkan suara. Dengan pendengarannya yang tajam dan pengalamannya bertahun-tahun, ia mampu menyebutkan nama spesies hanya dari satu atau dua nada kicauan yang terdengar dari kejauhan. “Burung-burung di hutan seperti ini banyak yang aktif di kanopi atau semak-semak. Tak selalu bisa kita lihat, tapi mereka selalu bersuara,” ujar Pak Bas di tengah sesi pencatatan suara burung yang muncul bertubi-tubi saat pagi menjelang.

Rata-rata, kami berhasil mengidentifikasi 10 hingga 13 spesies burung di setiap plot. Mayoritas terdeteksi melalui suara. Beberapa hanya terdengar satu kali dalam sehari, sementara yang lain muncul berulang kali, mengisi ruang akustik hutan dengan nyanyian khas mereka. Kami mencatat dengan seksama waktu kemunculan, jenis suara, dan kemungkinan tumpang tindih antarindividu. Semuanya disusun sebagai dasar analisis keanekaragaman spesies di lokasi ini.
Pengalaman menyusuri transek bersama Pak Bas terasa seperti memasuki sebuah perpustakaan suara yang hidup. Ia tak hanya menyebutkan nama burung, tapi juga menceritakan kebiasaan, status konservasi, hingga perubahan jumlah populasi dari tahun ke tahun. Ia menekankan bahwa suara hutan bukan hanya bunyi, melainkan indikator ekosistem yang sehat. Jika hutan sunyi, maka kemungkinan besar banyak yang telah hilang.
Dari data terakhir tahun 2023–2024, tercatat sebanyak 312 spesies burung masih ditemukan di Hutan Harapan, termasuk 75% dari spesies yang terancam secara global, seperti tiga jenis Galliformes dan enam jenis burung enggang (hornbill). Salah satu temuan penting adalah keberadaan sarang Bangau Storm (Ciconia stormi), spesies langka yang sangat sulit ditemukan perjumpaannya. Selain itu, sekitar 10% spesies tercatat sebagai burung migran, khususnya saat musim peralihan pada bulan Maret.
Namun, tidak semua kabar menggembirakan. Pak Bas menyampaikan bahwa beberapa spesies burung kicau mengalami penurunan signifikan. Beberapa di antaranya adalah Rangkong Gading (Rhinoplax vigil), Murai Batu (Kittacincla malabarica), Kacer (Copsychus saularis), dan dua jenis Kucica (Chloropsis sonnerati dan Chloropsis cyanopogon). Ada juga Kolibri Ninja (Leptocoma brasiliana) dan Kacamata Swinhoe (Zosterops simplex) yang kini semakin jarang terdengar. Penurunan ini banyak disebabkan oleh perburuan dan perdagangan burung untuk peliharaan.

Sepanjang tiga hari itu, kami belajar tidak hanya soal burung, tapi juga tentang cara mendengar hutan. Suara-suara itu dari siulan nyaring, getaran rendah, hingga gemericik lembut adalah tanda bahwa kehidupan masih terus berlangsung. Setiap pagi dimulai dengan ledakan suara yang kompleks dan kaya, perlahan mereda menjelang siang, kembali dari hening saat senja tiba. Kami menyadari bahwa suara hutan bukan hanya bagian dari keindahan alam, melainkan juga bentuk komunikasi ekologi yang menyimpan banyak informasi.
Masai Rusa mungkin hanya satu titik kecil di peta Sumatera, tetapi di tempat ini, suara burung menjadi pertanda bahwa hutan belum sepenuhnya diam. Dan selama hutan masih bersuara, harapan tetap ada.