Kabut pagi masih menyelimuti Pematang Telang ketika puluhan petani berjalan menyusuri jalan setapak menuju bekas lahan terbakar di Sungai Telang. Di tangan mereka, bukan golok atau peralatan membuka lahan, melainkan bibit tanaman dan peta sederhana. Ini bukan cerita perambahan hutan, tapi awal babak baru restorasi ekosistem.

Lahan seluas 50 hektar di Sungai Telang menyimpan kenangan pahit bagi warga setempat. Kebakaran tahun 2022 lalu tidak hanya menghanguskan pepohonan, tapi juga sumber penghidupan masyarakat.

Namun sejak Desember 2023, cerita itu mulai berubah. Melalui serangkaian diskusi panjang, PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) bersama Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Pematang Telang merancang program agroforestry yang tidak biasa.

Pertemuan pertama di salah satu rumah masyarakat

“Awalnya kami ragu, apa benar perusahaan mau bekerja sama dengan petani kecil seperti kami,” tutur seorang peserta diskusi.

Namun perlahan, melalui tujuh kali pertemuan intensif, kepercayaan mulai terbangun. Yang menarik, setiap pertemuan melahirkan solusi kreatif:

  • Pos jaga untuk mencegah perambahan
  • Demplot percobaan dengan 15 jenis tanaman bernilai ekonomi
  • Pondok kerja dari kayu bekas kebakaran
  • Skema bagi hasil yang transparan

“Kami tidak mau ini jadi proyek seremonial. Setiap detail dirancang agar benar-benar bisa dijalankan warga,” tegas seorang staf pendampingan perusahaan.

Yang unik dari program ini adalah pendekatan partisipatifnya. Para petani diajak memilih jenis tanaman melalui uji coba kecil.

“Kami buat beberapa plot percobaan. Ada yang ditanam bernilai ekonomis, ada juga yang coba kombinasi karet dengan tanaman obat,” jelas seorang penyuluh pertanian.

Hasilnya? Beberapa warga justru menemukan kombinasi baru yang tidak terpikirkan sebelumnya.

“Ternyata kunyit bisa tumbuh baik di antara pohon. Ini bisa jadi sumber penghasilan sambil menunggu karet besar,” ujar seorang ibu petani dengan bangga.

Tak hanya tanaman budidaya, masyarakat juga aktif menanam berbagai jenis pohon kayu khas Pulau Sumatera seperti Meranti, Jelutung, dan Tembesu. Penanaman ini bukan hanya demi restorasi ekologis, tapi juga bentuk komitmen jangka panjang warga dalam menjaga identitas hutan mereka.

“Anak-anak kami nanti harus tahu, ini bukan hutan biasa. Ini hutan yang punya sejarah, dan kami ikut menanamnya,” kata seorang tokoh masyarakat saat ikut menanam meranti bersama anak-anak muda desa.

Momen paling mengharukan terjadi ketika semua pihak bersama-sama memasang patok batas permanen.

“Dulu kami sering berselisih soal batas lahan. Sekarang justru bersama-sama menjaga,” kata seorang petani sambil memegang palu menancapkan patok.

Yang lebih membanggakan, desain wisata agroforestry yang dirancang akan dikelola sepenuhnya oleh kelompok tani.

“Ini bukan sekadar proyek tanam-menanam, tapi kami sedang membangun warisan untuk anak cucu,” tambahnya.

Meski semangat tinggi, tantangan tetap ada. Musim kemarau yang tidak menentu dan ancaman hama menjadi ujian nyata. Namun dengan pendampingan rutin dan sekolah lapangan yang dibentuk, para petani semakin percaya diri.

“Bulan depan kami mulai pembibitan massal. Kalau berhasil, tahun depan mungkin bisa ekspor madu hutan lagi,” ujar seorang petani perempuan penuh harap, matanya berbinar memandang lahan yang mulai menghijau.

Sungai Telang yang dulu kelabu kini mulai menunjukkan kehidupan baru. Di sini, restorasi ekosistem tidak hanya tentang menanam pohon, tapi tentang menumbuhkan harapan dan memulihkan hubungan antara manusia dengan alamnya.

Saat matahari terbit menyinari demplot agroforestry, para petani sudah bersiap dengan cangkul dan bibit. Di kejauhan, suara burung-burung mulai kembali terdengar. Sebuah pertanda baik untuk Sungai Telang yang sedang berproses pulih.