Oleh: Fathma Annisa Pratiwi, Mahasiswa Magang Antropologi Sosial Universitas Andalas

Di tengah rimbun pepohonan tropis Hutan Harapan, proses belajar-mengajar mengambil bentuk yang berbeda dari sekolah pada umumnya. Namun di sanalah pendidikan dasar tetap berlangsung, menyapa anak-anak Batin Sembilan komunitas adat yang hidup berdampingan dengan hutan di wilayah konsesi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI). Sejak beberapa tahun terakhir, PT REKI berkomitmen mendukung hak pendidikan anak-anak komunitas adat di kawasan restorasi ekosistem yaitu Hutan Harapan. Dua model utama diterapkan: sekolah tetap dan sekolah kunjung. Sekolah tetap yang disebut warga sebagai “sekolah Besamo” dikelola seperti sekolah pada umumnya: siswa datang ke sekolah, duduk di kelas, menerima pelajaran secara terstruktur.

Namun dalam praktiknya, tantangan geografis dan sosial masih menjadi hambatan yang nyata. Rumah-rumah warga Batin Sembilan tersebar di tengah kawasan hutan, dan untuk mencapai Sekolah Besamo, anak-anak harus berjalan kaki sekitar 20 menit melewati jalan tanah yang membelah pepohonan. Bagi sebagian keluarga, jarak ini terasa cukup jauh, terutama jika harus dilalui setiap hari dalam kondisi cuaca yang tidak menentu. Kondisi tersebut berdampak pada tingkat kehadiran siswa yang rendah. Dari sekitar 20 anak yang terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (DAPODIK), hanya lima yang benar-benar aktif bersekolah. Memasuki tahun 2025, jumlah itu pun menurun: hanya delapan anak tercatat secara administratif, dan yang hadir secara rutin bahkan lebih sedikit. Dari tantangan inilah lahir konsep sekolah kunjung, sebuah pendekatan pendidikan alternatif yang lebih adaptif. Dalam model ini, bukan siswa yang datang ke sekolah, melainkan guru yang menyambangi anak-anak di pondok tempat tinggal mereka. Nurhidayah Prastika salah satu tenaga pengajar PT REKI menjelaskan “Sekolah kunjung ini berbeda dengan sekolah lapangan. Sekolah kunjung ini kito yang mengunjungi siswa ke pondok, sedangkan sekolah lapangan itu yang jaraknya jauh-jauh rumahnya, mau dak mau kitokan yang mendatangi mereka satu-satu”.

Sebagai Mahasiswa Magang Antropologi Sosial 2022 dari Universitas Andalas, saya mencoba mengikuti proses kunjungan pagi ke sebuah pondok di depan salah satu rumah warga Batin Sembilan. Hanya tiga anak yang hadir. Dua di antaranya masih duduk di bangku kelas satu dan dua sekolah dasar. Tak ada meja belajar, tak ada papan tulis. Mereka belajar di atas lantai kayu, dengan buku tulis di pangkuan. Meski dalam keterbatasan, semangat mereka tetap menyala. Proses belajar dimulai dengan doa, dilanjutkan dengan tugas yang diberikan langsung di buku. Anak-anak aktif bertanya, menjawab, dan sesekali tersenyum kecil saat jawaban mereka benar. Suasana sunyi, tapi terasa hidup.

Pada sekolah Besamo, beberapa mahasiswa magang juga mengikuti kegiatan mengajar selama kurang lebih 2 jam, sekolah Besamo ini telah disediakan ruangan kelas yang berisikan meja, kursi hingga papan tulis. Untuk proses belajarnya tidak jauh berbeda dengan sekolah Kunjung, dimulai dari doa, dilanjutkan dengan guru yang memberi materi serta tugas dan di tutup dengan kuis serta doa.

Pendidikan yang mereka terima tidak dipungut biaya. PT REKI memfasilitasi buku, alat tulis, hingga kebutuhan dasar lainnya. Namun tantangan terbesar bukan hanya soal infrastruktur, melainkan soal kesadaran kolektif. Tidak semua orang tua mendorong anaknya bersekolah. “Sebagian anak, terutama perempuan, menikah di usia muda. Anak laki-laki lebih memilih langsung bekerja selepas sekolah dasar. Beberapo emang sempat lanjut ke jenjang SMP atau SMK di Bahar, tapi jumlahnya masih sangat terbatas” ujar Nurhidayah Prastika.

Meski begitu, di tengah berbagai keterbatasan, upaya untuk memperkuat pendidikan terus dilakukan termasuk melalui pendekatan komunikasi dengan orang tua siswa. Pada 23 Juli 2025, Sekolah Besamo mengadakan Rapat Wali Murid, yang dihadiri oleh dua guru Rio Afrian dan Nurhidayah Prastika, serta lima wali murid. Rapat ini diawali dengan diskusi internal guru untuk menyusun agenda. Pertemuan berlangsung di Sekolah Besamo dalam suasana kekeluargaan, penuh dialog dan harapan. Dalam rapat tersebut, para guru menyampaikan perkembangan akademik siswa, membagikan rapor, serta menjelaskan kembali aturan dan tata tertib sekolah. Yang paling penting, para guru menekankan betapa pentingnya peran aktif orang tua dalam mendukung keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka. Dalam diskusi yang berlangsung, para guru menyampaikan bahwa selain guru di sekolah, orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam kehidupan anak. Di rumah, karakter, nilai-nilai, dan pola pikir anak mulai dibentuk. Oleh karena itu, keterlibatan aktif orang tua baik dalam mendampingi belajar di rumah maupun membangun komunikasi dengan sekolah dianggap sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang anak secara utuh. Kolaborasi yang erat antara sekolah dan orang tua diyakini dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap motivasi belajar dan pencapaian akademik anak-anak Batin Sembilan.

Wali murid menyampaikan rasa terima kasih atas dukungan PT REKI selama ini terhadap pendidikan anak-anak mereka. Meski dengan sumber daya terbatas, adanya sekolah Besamo dan sekolah kunjung telah membuka akses dasar yang sebelumnya sulit dijangkau. Sekolah tetap berjalan meski perlahan, meski tak selalu ramai. Bagi para guru, mengajar satu anak pun sudah cukup untuk menjaga satu harapan. Harapan agar pendidikan tak berhenti di batas hutan. Bahwa hak belajar tetap melekat, tak peduli di mana seseorang tinggal, dan bagaimana cara ia mengaksesnya. Sebagai mahasiswa antropologi sosial yang sedang magang di Hutan Harapan, menyaksikan langsung dinamika pendidikan di lapangan antara harapan, tantangan, dan daya lenting komunitas membuat saya menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar bangunan atau kurikulum. Ia adalah proses sosial yang tumbuh dari kesalingpercayaan, dari kesediaan untuk mendekat, dan dari kemauan untuk mendengar serta berjalan bersama.