Oleh: Muhammad Iqbal

Di tengah riuhnya wacana konservasi dan pembangunan hijau, ada satu kisah yang nyaris tak terdengar: perjuangan masyarakat adat Batin Sembilan, suku asli yang mendiami kawasan Hutan Harapan, bentang alam terakhir yang tersisa di Sumatera.

Adalah Hildayatul Rizki, mahasiswi program fastrack magister Antropologi Sosial Universitas Andalas, yang memutuskan menelisik lebih dalam ketegangan yang membentang antara negara, perusahaan, dan komunitas adat di sana. Lahir di Tanah Datar pada tahun 2002, perempuan yang akrab disapa Iki atau Kiki ini membawa semangat generasi muda untuk menggali sisi-sisi yang sering luput dalam narasi besar pembangunan.

Ketika Restorasi Bertemu Resistensi

Hutan Harapan bukan sekadar hutan. Bagi Batin Sembilan, hutan adalah ruang hidup, sumber penghidupan, dan warisan nilai. Namun, dalam upaya restorasi yang diklaim sebagai penyelamatan ekologis, muncul ketegangan antara klaim negara, kepentingan perusahaan restorasi (PT REKI), dan hak masyarakat adat.

Lewat tesis berjudul “Antara Pengakuan dan Pengendalian: Relasi Kuasa Masyarakat Adat Batin Sembilan Dalam Program Restorasi Hutan Harapan”, Hildayatul mengangkat sebuah pertanyaan besar: bagaimana relasi kuasa dijalankan, dinegosiasikan, bahkan dimarjinalkan di balik jargon konservasi?

Dengan teori Michel Foucault sebagai pisau analisis, ia menelusuri bahwa kuasa tak selalu hadir dalam bentuk larangan atau izin, tetapi juga mengalir melalui narasi hukum, skema kemitraan, dan interpretasi terhadap pengetahuan lokal. “Pengetahuan masyarakat adat tak selalu diakui. Kadang dijadikan legitimasi, kadang hanya dilihat sebagai ornamen budaya,” ujar Ikii dalam salah satu sesi wawancara.

Menyibak Jejak, Mendengar Suara

Metode penelitiannya tak main-main. Ia merancang pendekatan etnografi mendalam: observasi partisipan, wawancara tokoh adat, perempuan, pemuda, hingga warga marginal yang tidak ikut kemitraan konservasi. Ia juga akan menggali narasi negara lewat dokumen kebijakan, peta wilayah, hingga wawancara dengan staf PT REKI, mitra LSM, dan pejabat kehutanan.

“Saya ingin tahu bagaimana masyarakat merespon kekuasaan: apakah mereka diam, melawan, atau bernegosiasi? Dan bagaimana pengetahuan mereka tentang hutan menjadi alat dalam perjuangan itu?” tambahnya.

Tak hanya menelusuri dinamika konflik tenurial, Hildayatul juga memotret aspek sosiokultural yang jarang dikaji: bagaimana sistem nilai adat masih membentuk cara masyarakat menjaga hutan, dari larangan adat, klasifikasi hutan keramat hingga ritual ekologis.

Dari Lapangan ke Laboratorium Pengetahuan

Riset ini bukanlah proyek pertama Hildayatul. Ia telah menjadi asisten peneliti di berbagai daerah—dari Muara Enim hingga Aceh. Ia pun terlibat dalam proyek PLTA Masang II di Agam dan menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat. Kini, ia membawa semua pengalaman itu ke dalam satu proyek besar yang memadukan keberpihakan, analisis kritis, dan keberanian akademik.

Apa yang ditawarkan peneliti muda ini bukan hanya laporan akademik, tetapi juga suara-suara yang jarang diangkat dalam debat konservasi. Risetnya membuka kemungkinan baru dalam resolusi konflik agraria—dari bawah, dari komunitas, dan dari tafsir lokal atas ruang hidup.

Antara Pengakuan dan Pengendalian

Judul tesisnya menyiratkan paradoks besar: pengakuan seringkali datang bersamaan dengan pengendalian. Masyarakat diakui secara simbolik, tapi dikontrol melalui regulasi dan birokrasi. Justru di titik ini, Hildayatul ingin menunjukkan bahwa resistensi tak selalu berupa demonstrasi, tapi bisa hadir dalam bentuk mempertahankan ritual adat, mengklaim kembali hutan keramat, atau menanam kembali tanaman obat yang dulu hampir punah.

Melalui pendekatan yang jeli dan sensitif terhadap konteks lokal, ia memperlihatkan bahwa masyarakat adat bukan objek pasif, melainkan aktor yang terlibat aktif dalam kontestasi ruang, identitas, dan masa depan ekologis. (Iqbal/HH)