Di Hutan Harapan di Jambi, perburuan burung kian marak. Padahal burung liar yang hidup di alam punya peran penting bagi ekosistem hutan dan ketersediaan air.

Oleh: JON AFRIZAL

Setelah perjalanan darat yang memakan waktu kurang lebih dua jam dari pusat kota Jambi, lewat hamparan perkebunan sawit dan jalan berdebu, DW Indonesia akhirnya tiba di tepi Hutan Harapan di Provinsi Jambi. Hutan seluas ini lebih dari 98 ribu hektare ini adalah salah satu hutan terakhir yang menjadi rumah bagi 20% spesies endemik di Sumatera.

Ketika DW Indonesia tiba di sana pada awal Juni, cuaca cukup panas dan lembab. Bunyi cericit burung terdengar memenuhi udara, bahkan sesekali ada juga suara hewan sejenis monyet yang oleh warga lokal disebut ungko (Hylobates agilis).

Tole, pemuda berusia sekitar 20 tahun yang ikut menemani DW Indonesia menjelajahi hutan ini mengungkapkan bahwa dulu ia sering diminta orang untuk mencari dan menangkap berbagai jenis burung di daerah ini. Paling utama yang dicari adalah burung yang bisa bernyanyi.

Para pemesan yang datang ke Tole saat itu umumnya mencari burung berkicau jenis kacer (Copsychus saularis) dan murai (Copsychus malabaricus). Untuk satu ekor burung tangkapan, Tole dibayar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu, tergantung jenis burungnya. “Para pemesan umumnya orang dari luar kawasan,” kata Tole kepada DW Indonesia.

Namun sekarang, pemuda dari masyarakat adat Batin Sembilan ini mengaku insyaf dan tidak mau lagi berburu burung liar. Kini ia paham fungsi burung-burung itu bagi keberlanjutan ekosistem hutan tempat tinggal masyarakat Batin Sembilan dan warga di sekitarnya.

Namun, ini bukan berarti perburuan burung liar sudah berhenti sama sekali.

Cerita selengkapnya tentang Menjaga Kicauan Burung Liar di Hutan Harapan Jambi dapat dibaca pada link berikut: https://www.dw.com/id/menjaga-kicauan-burung-liar-di-hutan-harapan-jambi/a-57801497