Dunia konservasi kehilangan satu tokoh penting: Effendy A Sumardja, yang meninggal dunia di usia 75 tahun. Kalangan masyarakat perhutanan di Tanah Air mengenal pria bersahaja dan sederhana ini sebagai tokoh konservasi yang penuh komitmen dan semangat memperjuangkan kelestarian lingkungan hingga di pengujung hayatnya.

Sabtu (18/3/2017), jenazahnya diberangkatkan dari rumah duka di Bogor untuk dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ratusan sahabat, kerabat dan keluarga melepas kepergiannya. Ucapan bela sungkawa mengalir dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan internasional. Karangan bunga memadati sepanjang jalan hingga ke rumah duka.

Effendy wafat pada Jumat (17/3/2017) pukul 14.29 WIB karena sakit. Meskipun sakit, semangatnya dalam memperjuangkan konservasi tidak pernah kendur. Ini terlihat dari kegiatannya sebagai Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT Reki), pengelola kawasan restorasi ekosistem bernama Hutan Harapan di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

Dalam kondisi sakit (antara lain kadar gula darah yang sering naik), ia tetap berkunjung ke lokasi Hutan Harapan dari kantor pusatnya di  Bogor. Ketika kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya dan Dubes Denmark Casper Klynge ke Hutan Harapan pada September 2016, Effendy datang dengan tongkat, dipapah oleh karyawan, didampingi isteri tercintanya, Ir. Watini Sawitri Sumardja.

Masih dalam suasana sakit pula, Effendy menghadiri penandatanganan kesepakatan kemitraan kehutanan antara masyarakat Kunangan Jaya 1 Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, dengan manajemen Hutan Harapan pada November 2016 di Muarabulian, Kabupaten Batanghari.

“Dia itu tokoh konservasi yang semangat dan perjuangannya perlu kita teruskan,” ujar Direktur Operasional Hutan Harapan Lisman Sumardjani di sela-sela pemakaman.

Effendy menduduki posisi puncak manajemen Hutan Harapan sejak 2008. Di mata manajemen, karyawan dan sejawatnya, ia sosok sederhana dan bersahaja yang selalu menjadi panutan.

“Saya lama bekerja dengan Pak Effendy. Beliau adalah sang pamong, bijaksana dan konsisten dengan pekerjaan konservasi,” ujar Mangarah Silalahi, stakeholder engagement specialist Burung Indonesia.

Sampai ajalnya, kata Mangarah, Pak Effendy masih sebagai ahli (expert) di UNDP dan dewan (board) di berbagai lembaga konservasi serta mengajar di program pasca sarjana. “Bahkan, sepuluh hari sebelum Tuhan memanggilnya, Effendy masih mengajar. Luar biasa komitmennya dalam bekerja dan mengajar di bidang konservasi,” tambah Mangarah.

Head of Strategic Partnerships Division Hutan Harapan Adam Aziz mengenal sosok Effendy sebagai pakar yang sangat berkomitmen dalam bidangnya. “Dalam waktu singkat, saya merasa beliau adalah sosok pemimpin dan guru yang sesungguhnya, untuk diri saya sendiri,  restorasi ekosisitem dan konservasi bagi berbagai kalangan dalam artian yang sangat luas,” jelas Adam. “Saya merasa kehilangan sosok seorang ayah dalam artian yang sesungguhnya,” tambahnya.

Sebelum memimpin Hutan Harapan, Effendy yang lulusan master dari University of Michigan, Amerika Serikat, ini adalah Direktur Global Eco Rescue Ltd dan Ketua Board of Directors Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF). Effendy juga merupakan sosok penting di sejumlah lembaga dan perkumpulan, seperti Burung Indonesia, Yayasan Konservasi Ekosistem Hutan Indonesia (Yakehi), dan Yayasan Badak Indonesia (YABI).

Jauh sebelum itu, dia adalah tokoh konservasi dengan banyak sumbangan pemikiran di Departemen Kehutanan (kini KLHK). Kepeduliannya akan lingkungan mengantarkan lulusan Universitas Padjajaran ini menempati sejumlah posisi strategis, seperti Direktur Konservasi Alam, Direktur Program Konservasi dan berkali-kali menduduki posisi asisten menteri, salah satunya Asisten Menteri untuk Hubungan Internasional.

Di kancah internasional, pria kelahiran Langsa pada 21 Februari 1942 dan menguasai bahasa Belanda dan Inggris ini terlibat pada program Indonesia for the Global Environment Facility (GEF) dan Ketua Komite Pengarah Nasional Small Grant Programme (SGP) GEF dan SGP Promote Tropical Forest (PTF) UNDP dan EU.

Ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan yang masif hingga menyebabkan kabut asap ke seantero Asia Tenggara pada 1997-1998, Effendy ditunjuk menjadi Ketua ASEAN Technical Task Force on Transboundary Haze Pollution. Ia juga mewakili Indonesia untuk 2002 World Summit on Sustainable Development.

Selama bertahun-tahun, Effendy menjabat Wakil Ketua  World Commission on Protected Areas (WCPA) IUCN-World Conservation Union dan terlibat aktif dalam Advisory Committee for Biosphere Reserve-UNESCO dan menjadi konsultan Climate Change Adaptation (CCA) UNDP & Word Bank.

Dari serangkaian jabatan tersebut, Effendy menghasilkan banyak tulisan dan buku. Di antaranya Beberapa Sumbangan Pemikiran bagi Sistem Perencanaan Taman Nasional di Indonesia yang disusunnya pada 1977.

Dalam akun LinkEd In-nya, sejumlah orang menulis testimoni dan rekomendasi bagi Effendy.  “Sumardja seorang ahli lingkungan yang luar biasa. Dia merupakan kombinasi dari ilmu lingkungan dan pengalaman,” tulis Dian Fiana, seorangenvironmental consultant.

Debbie Martyr, Program Advisor Fauna & Flora International yang lama meneliti di Taman Nasional Kerinci Seblat menulis bahwa Effendy memahami setiap orang dan dihargai di dunia konservasi di Indonesia. “…Pak Effendy memahami hal-hal praktis yang dihadapi  di lapangan saat mencari (cara) mengimplementasikan dan mengembangkan praktek-praktek konservasi yang baik dan efektif,” tulisnya.

Muhammad Agil,  peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB)  menulis bahwa ia dan Effendy aktif dalam proyek Sumatran Rhino Conservation. “Saya tahu betul bahwa Pak Effendy banyak pengalaman konservasi pada spesies lainnya, seperti gajah dan harimau sumatera, serta burung-burung di Indonesia,” tulisnya.

Menurut Agil, Effendy sangat komit, antusias dan selalu mendukung semua aspek kegiatan konservasi alam liar di Indonesia. “Dia negosiator yang sangat baikdan diplomat untuk konservasi Indonesia. Jaringan internasionalnya sangat luas dan dia terkenal di kalangan konservasionisalam liar internasional”.

Kini, sang konservasionis dan environtmentalis itu telah pergi, meninggalkan banyak warisan, pengetahuan dan pelajaran bagi kita dan anak-cucu, termasuk Hutan Harapan, hutan dataran rendah tersisa di Sumatera. Selamat jalan, Pak Effendy.(*)

Penulis: Joni Rizal
Sumber foto: Dokumentasi Hutan Harapan, Lisman Sumardjani dan Mangarah Silalahi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini