Oleh IRMA TAMBUNAN

Hingga tiga tahun lalu, Teguh Santika (42) masih menjalani cara hidup berpindah di tengah hutan, sebagaimana warisan leluhurnya. Situasi belakangan mengetuk-ngetuk pintu kesadaran. Lembaran baru harus dibangun.

Kedatangan para pendatang yang merambah liar ke dalam hutan menjadi keprihatinan Teguh dan seluruh warga komunitas seminomadik suku Batin Sembilan. Sebab, hutan itulah rumah mereka.

Bersama para ibu di komunitas suku Batin Sembilan, Teguh menyambangi para perambah liar di hutan itu. Bukan untuk mengajak perang, melainkan untuk merangkul mereka guna memulihkan kembali hutan yang rusak.

Dengan keibuannya, wanita yang kerap dipanggil Bi Teguh ini telaten menyisir perambah-perambah yang nekat menggusur Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka diminta untuk berhenti. Sebagai gantinya, ia tawari mereka bibit-bibit tanaman buah dan tanaman hutan. Semua bibit telah disiapkan komunitas itu.

Memang tak semuanya mau menerima ajakan. Sebagian bahkan menolak karena berkeras membuka monokultur. Apalagi mereka telah membeli lahan dari makelar dengan iming-iming meraup untung dari hasil sawit.

Jika sudah begitu, Teguh tak mungkin lagi memaksa. Ia hanya dapat melapor kepada petugas penjaga hutan yang memangku wilayah itu. Berita selengkapnya tentang sosok Teguh Santika  https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/12/28/membangun-harapan-suku-batin-sembilan