Batin Sembilan merupakan masyarakat adat pedalaman yang sudah lama menjelajah dan menetap di Hutan Harapan. Hutan bagi mereka adalah kawasan untuk berburu dan meramu, mencari berbagai bentuk hasil hutan bukan kayu dan obat-obatan untuk dijual atau dipakai sendiri.

Bertahan hidup di alam bebas bukan hal yang mudah bagi manusia umumnya, termasuk Batin Sembilan. Mereka memerlukan kekuatan dan ketahanan fisik supaya tetap sehat dan bugar selain memahami cara menangkal dan mengobati berbagai macam penyakit. Dari zaman nenek moyang, masyarakat Batin Sembilan telah memiliki keahlian mengolah tanaman menjadi obat-obatan.

Pengetahuan Batin Sembilan tentang obat-obatan dari alam sangat baik. Mereka mampu membedakan tumbuhan beracun dan tidak beracun,  misalnya dengan melihat interaksi antara hewan di lingkungan sekitar tumbuhan. Bila hewan-hewan tidak mendekati tumbuhan, ada kemungkinan tumbuhan itu mengandung racun.

Banyaknya jenis tumbuhan di Hutan Harapan membuat praktik pengolahan obat bagi Batin Sembilan sangat mudah. Apalagi, mereka juga terbiasa mamanfaatkan tanaman di sekitar pondok atau tempat tinggal mereka.

Misalnya, jambu biji (Psidium guajava) yang biasa mereka gunakan untuk menyembuhkan sakit perut atau diare. Caranya dengan memakan langsung buah atau daunnya. Daun mudanya bisa diolah dengan cara ditumbuk halus kemudian direndam di dalam air beberapa menit,  diperas, lalu diminum beberapa kali  sampai diare berhenti.

Tanaman bayam duri (Amaranthus spinosus) sangat lazim ditemukan di sekitar tempat tinggal masyarakat Batin Sembilan. Bayam jenis ini biasa dipakai untuk menyembuhkan bisul. Bayam cukup dicuci dan dicampur dengan garam halus, dilumatkan lalu dioleskan pada bisul, tapi jangan sampai terkena mata bisul. Cara ini dapat mengurangi rasa panas dan perih yang disebabkan oleh infeksi atau radang pada bisul.

Disengat serangga, seperti lebah, tawon, kutu, laba-laba, semut dan berbagai jenis serangga yang dapat menyebabkan gatal, panas, bengkak, dan bahkan yang paling parah bisa meracuni seluruh tubuh, biasanya diobati dengan bawang bawang putih (Allium sativum). Masyarakat Batin Sembilan biasanya menumbuk halus beberapa siung bawang putih lalu ditempelkan pada bekas sengatan atau gigitan serangga. Cara lain adalah menggunakan getah dari buah pepaya (Carica papaya) muda, yang diteteskan pada luka bekas gigitan atau sengatan serangga.

Untuk mengobati pegal linu, masyarakat Batin Sembilan biasanya mengkonsumsi jahe (Zingiber officinale).  Jahe dikupas dan dipotong kemudian direbus. Air rebusannya diminum atau dapat juga dicampur dengan minuman lainnya. Jahe memberikan rasa hangat di tubuh, yang dapat membuat otot menjadi rileks.

Serai (Cymbopogon citratus) bagi masyarakat Batin Sembilan selain untuk bumbu masak ternyata juga untuk mengusir nyamuk. Caranya, beberapa batang serai dipotong tipis, dimasukkan di sebuah wadah lalu diletakkan di kolong tempat tidur atau tempat lainnya yang sering dihinggapi nyamuk.

Akar Pasak bumi (Eurycoma longifolia)  di kalangan kaum pria Batin Sembilan diyakini dapat meningkatkan libido dan stamina. Akarnya dipotong-potong lalu direbus –rasanya sangat pahit. Rasa pahit bisa dihilangkan dengan dicampur madu.

Sedangkan di kalangan perempuan, daun sirih (Piper betle) dipakai untuk mengobati keputihan, melancarkan haid, mengusir kuman di mata, di mulut atau bagian lainnya serta untuk menyembuhkan demam berdarah.

Di antara kayu-kayuan, meranti (Shorea) dan pulai (Alstonia scholaris) sangat terkenal sebagai bahan obat di kalangan masyarakat pedalaman ini. Meranti diambil getahnya untuk obat luka, sedangkan getah pulai dipakai untuk obat sakit gigi.

Melati hutan (Jasminum) digunakan sebagai obat pusing, yakni dengan cara direndam dengan air panas dan dikompreskan di kening. Selain bunga, akarnya juga bisa dicampurkan dengan air rendamanan tersebut.

Untuk buah pohon, salah satunya yang sering dipakai untuk obat adalah buah kayu bulian (Eusideroxylon zwageri) sebagai obat bisul dan penyakit kulit.

Begitu banyak tumbuhan di Hutan Harapan yang bisa digunakan sebagai bahan baku obat obatan. Sayangnya, sebagian tumbuhan tersebut sudah langka.

Penulis: Ardi Wijaya, Penyunting: Joni Rizal, Foto-foto: Ardi Wijaya/berbagai sumber

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini