Hutan Harapan merupakan kawasan restorasi ekosistem yang dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Selama kegiatan restorasi di Hutan Harapan, tidak ada produksi atau penebangan kayu; produksi hasil hutan diarahkan kepada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) –yang tidak merusak keseimbangan ekosistem dan berkelanjutan.
Madu hutan, yang dihasilkan oleh lebah hutan (Apis dorsata) merupakan salah satu HHBK unggulan yang telah dikembangkan di Hutan Harapan, diperoleh dari hutan belantara secara langsung pada gerombolan atau koloni lebah liar. Madu lebah hutan liar merupakan madu yang bersifat alamiah, dalam arti terbebas dari pengaruh pupuk, pestisida dan polusi.
Pada Senin 25 Desember 2017, Hutan Harapan bekerja sama dengan LSM CAPPA mengadakan Pelatihan Pengelolaan Madu Hutan yang Higienis dan Lestari untuk Komunitas Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Hutan Harapan. Pengelolaan lestari adalah cara mengelola madu hutan dengan mengutamakan perlindungan lebah dan habitatnya serta pengolahan dan pengemasan yang lestari.
Pelatihan dilakukan di Base camp Hutan Harapan, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Instruktur pelatihan pengelolaan madu adalah Bahrizon, Ketua Kelompok Tani Madu Sailan, Kampar, Riau, yang sudah berpengalaman mengelola madu hutan. Ia datang bersama Samsi, yang merupakan ahli panjat madu.
Menurut Bahrizon, untuk menjamin keberlanjutan kehidupan lebah madu hutan, diperlukan perlindungan pohon sialang. Kualitas madu sangat tergantung pada tumbuhan sumber pakan atau nektar yang ada di sekitar pohon sialang.

Proses pemanenan menurut Bahrizon dilakukan dengan hanya mengambil kepala sarang yang berisi madu dan menyisakan madu untuk sumber makanan anak lebah yang ada dalam sarang. “Jangan memanen sarang yang masih muda. Ini penting untuk kelestarian sarang madu,” katanya.
Proses pasca panen juga harus diperhatikan kerena ini menentukan kualitas madu. Tempat dan saringan madu disiapkan yang higienis –bersih dan sehat. Pisau iris harus yang anti karat. Pemanen harus menggunakan masker atau baju pelindung; saat penirisan dan pemrosesan harus menggunakan tutup kepala.
Saringan dipilih yang khusus dari nilon dengan beberapa ukuran. Pemanen menggunakan sarung tangan dan mengiris madu dengan pisau baja anti karat, kemudian ditiriskan dengan saringan. Sisa sarang lebah dimasukkan ke dalam wadah untuk diolah menjadi lilin. Usai penirisan, jeriken ditutup rapat.

Penyimpanan madu dianjurkan jauh dari minyak, aman dari jangkauan anak-anak dan terhindar dari semut. Dilarang merokok di tempat penyimpanan madu. Penyimpanan dilakukan dengan baik agar tidak terkontaminasi atau terpapar sinar matahari. Madu ditutup rapat, tidak boleh sering dibuka .
“Standarisasi pengemasan madu hutan curah dalam jeriken harus memperhatikan hal hal berikut: pekerja menggunakan masker, sarung tangan dan celana panjang. Madu diendapkan dalam tong yang terbuat dari bahan stainless steel selama 48 jam untuk mengurangi buih,” jelas Bahrizon.
Setelah itu, madu dimasukkan ke dalam jeriken yang dibersihkan dengan air panas dan dilapisi plasik pada bagian dalamnya. Jerigen berisi madu dibungkus karung, dijahit rapi dan diberi label.
Saat mengemas madu botol, pekerja juga harus menggunakan masker, sarung tangan dan pakaian laboratorium. Dari tempat penyimpanan, madu ditakar lalu dimasukkan ke dalam tempat pengurangan kadar air. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tong stainless steel dan diendapkan kembali selama 48 jam. Sementara itu, botol untuk kemasan dipersiapkan dan dibersihkan. Botol yang berisi madu diberi segel dan label serta mencantumkan masa kadaluarsa. Madu siap dipasarkan.
Pelatihan juga dilakukan dengan memperagakan teknik-teknik pemanenan hingga ke pemrosesan dan pengemasan.
Penulis: Ardi Wijaya
Penyunting: Joni Rizal