“Kalau kato urang kami, rimbo tu samo dengan umah, di dalamnyo sagalo ado.”
(Mang Munce, pemimpin Kelompok Tanding, Komunitas Batin Sembilan di Hutan Harapan)
Sambil terus menganyam rotan untuk mengikat kayu-kayu penyangga rumah yang baru dipindahkannya, Munce berbicara dengan dialek Batin Sembilan yang cenderung seperti bahasa Musi Rawas, Sumatera Selatan. Berkali-kali dia menyatakan syukur karena hutan di sekitar mereka tetap terjaga sampai kini.
“Jangan cubo-cubo mukak rimbo di siko,” ujarnya menegaskan pembelaan atas hutan di sekitar pemukiman mereka yang masih lestari.
Mang Munce, 58 tahun, merupakan salah satu tokoh tua yang masih menetap di lokasi pemukiman Kelompok Tanding. Ini sejatinya adalah sekelompok keluarga –bisa pula disebut pula klan kecil– yang terdiri atas 10 keluarga dalam satu keturunan yang dipimpin oleh Tanding, saudara Munce sendiri.
Hanya saja, sejak beberapa waktu belakangan, Tanding jatuh sakit dan mengalami kesulitan berkomunikasi. Maka, kepemimpinan kelompok diambil alih oleh Munce dan saudaranya yang lain, Yusuf. Wilayah pemukiman salah satu klan kecil di Hutan Harapan ini tetap dikenal dengan sebutan Kelompok Tanding.
Kelompok kecil ini merupakan salah satu dari empat kelompok komunitas Batin Sembilan yang telah menandatangani kesepakatan kerja sama pengelolaan kawasan hutan dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT Reki) selaku pemegang izin konsesi kawasan Hutan Harapan. Kerja sama tersebut disusun dalam skema perhutanan sosial, dengan lebih menitikberatkan pada tanaman kehidupan.
Kelompok Tanding mendapat hak kelola komunal atas lahan seluas 647 hektar dan akses terhadap pengambilan hasil hutan bukan kayu (HHBK), yang –tentu saja– dengan kewajiban melekat menjaga kawasan hutan dari perambahan dan pencurian kayu.
Selama beberapa tahun, tidak banyak perubahan pada pemukiman Kelompok Tanding, yang berjarak sekitar 1 km dari base camp Hutan Harapan. Tersisa delapan pondok yang dihuni oleh 12 keluarga. Tetapi ada anggota kelompok yang tinggal di tempat lain, bahkan di luar kawasan Hutan Harapan.
Pondok sederhana adalah rumah mereka, yang juga dibangun dari bahan-bahan sederhana dari hutan. Pola pembuatan dan pemilihan bahan adalah rahasia pengetahuan bersama bagi masyarakat Batin Sembilan ini. Umumnya pondok mereka dibangun dengan lantai setinggi sekitar 2 meter dari permukaan tanah.
Mereka memakai kayu-kayu kecil tertentu yang tahan dengan terpaan cuaca panas dan hujan, yang mudah didapat di sekitar pemukiman. Mereka memilih kayu yang menurut mereka tidak produktif. Atapnya dari daun lipai –diambil dari sejenis pohon palem– yang dijalin menjadi atap seukuran satu depa.
Sementara dinding pondok lazimnya dibuat dari kulit kayu dan lantai dari bambu yang dijalin. Sangat jarang mereka menggunakan papan sebagai bahan rumah. Entah karena kecintaan pada pohon, keengganan melanggar aturan negara, atau karena sulitnya membuat papan. Itulah satu lagi rahasia dan kearifan mereka.
Saat Mang Munce berhenti sejenak dari mengikat rotan pada sambungan kayu untuk pondoknya yang hampir selesai, penulis mengambil kesempatan untuk berbincang lebih serius dengannya. Saya menggali pemahaman terhadap lingkungan mereka. Asumsi awal saya sebagai “orang luar”, tidak mudah tinggal di hutan dengan berbagai bentuk keterbatasan bila dibandingkan dengan peradaban modern.
Mulai dari kebutuhkan akan air bersih sampai ke keperluan akan sembilan bahan pokok (sembako). Tetapi, melihat mereka betah tinggal di sini, sepertinya saya mesti mengubah perspektif awal tadi.Munce bahkan lahir, besar hingga menua di dalam hutan.
Saya bertanya, kenapa pondoknya dipindah dari tempat sebelumnya. Ia menyebutkan, ada wabah penyakit yang mereka sebut kesamparan sedang melanda di beberapa tempat. Beberapa waktu lalu, seorang perempuan muda meninggal dunia, padahal telah sembuh dari demam setelah diobati secara tradisional.
Munce sendiri sedang mendapat musibah pula. Sejak beberapa bulan lalu istrinya sakit. Pernah sekali dibawa ke rumah sakit di Bahar, tapi dia memilih untuk menempuh pengobatan tradisional.
Pilihan tersebut didasari pada pengetahuan tradisionalnya. Menurutnya, tak akan ada yang mampu mengobati istrinya karena tanda-tanda kesamparan sangat jelas.
Pertanda awal kesamparan menurut Munce terlihat di alam liar. Misalnya, munculnya satwa yang sebelumnya tidak pernah mendekat ke pondok, seperti rusa atau burung langka. Bila salah satu hewan liar tersebut tersentuh tubuh salah satu anggota komunitas, maka akan menjadi penyakit. Bila si sakit tersentuh anggota keluarga yang lain, maka penyakit itu akan menular. Begitulah seterusnya.
Isteri Munce jatuh sakit setelah kebunnya di sekeliling rumah selesai ditanam. Salah satu dukun menyampaikan bahwa istrinya sakit akibat amarah penunggu tanah karena karet-karet yang ada di dalam kebun dicabut, diganti tanaman lain.
Begitulah cara mereka memberi makna dan berinteraksi dengan alam dan lingkungan. Antropolog Indonesianis Clifford Geertz menyebut ini sebagai bagian dari nilai budaya yang dijadikan pedoman untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup masyarakat. Dalam kesatuan sistem, pemaknaan ini bisa menjadi milik kolektif kelompok.
Pilihan untuk mengobati istrinya secara tradisional juga merupakan nilai yang dianut Munce. Selain karena “gagap atau gamang budaya” bila harus berurusan dengan rumah sakit, Munce juga telah menemukan tidak adanya penanganan yang lebih baik, bahkan cenderung seperti ada penolakan dari rumah sakit.
Yang pasti, dua perawat di Klinik Besamo yang dibangun PT Reki tidak sanggup mengobati karena secara medis isteri Munce memerlukan penangan dokter.
PT Reki mengelola kawasan Hutan Harapan seluas 98.555 hektar di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan untuk tujuan restorasi ekosistem (RE). Dalam tugas-tugas pemulihan hutan itu, PT Reki juga memberdayakan dan bekerja sama dengan masyarakat Batin Sembilan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari keberadaan hutan. Mereka bisa memenuhi kebutuhan dengan mencari hasil hutan bukan kayu, seperti jernang, rotan, bambu, buah-buahan dan berburu.
Konsep pemberdayaan diawali secara kongkrit pada 2017 dengan memberikan ruang kelola bagi kehidupan Batin Sembilan dan akses mendapatkan HHBK. Mereka diberdayakan mengelola kebun karet dengan konsep agroforestry (kebun campur). Selain ramah secara ekologi, konsep ini dekat dengan nilai budaya masyarakat lokal yang tidak terbiasa dengan pola monokultur. Sebanyak 30.000 bibit diberikan kepada komunitas Batin Sembilan yang telah bermitra dalam ikatan skema perhutanan sosial.***
(Penulis: Fahrudin, staf Community Partnership; Penyunting: Joni Rizal)