Batin Sembilan merupakan masyarakat adat yang menetap dan beraktivitas di dalam hutan dataran rendah Sumatera, antara Jambi dan Sumatera Selatan, sejak abad ke-7, masa Kerajaan Sriwijaya.  Di masa itu, mereka menyebar di dalam hutan dan menggantungkan hidup di dalam kawasan penyedia hasil hutan untuk diperdagangkan oleh Kerajaan Sriwijaya melalui Selat Malaka.

Batin Sembilan yang bermukim di Hutan Harapan dewasa ini masih melakukan praktik-praktik tradisional dan menjalankan kosmologi yang merefleksikan interaksi panjang dengan lingkungan dan alam. Hutan bagi mereka adalah lahan untuk perladangan gilir-balik, mencari hasil hutan bukan kayu (HHBK), tempat berburu, meramu, mencari obat dan mempertahankan sistem pengetahuan tradisional.

“Pak Guru, Sanggul besok izin, tak nak sekolah. Besok bantu mak ke ladang nak ngetam padi,”  ucap Rani salah satu murid Sekolah Besamo, sekolah yang disediakan oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia selaku pengelola Hutan Harapan. Sanggul merupakan anak pasangan Tanding dan Milawati, masyarakat Batin Sembilan yang telah lama menetap di Hutan Harapan.

Mengetam adalah memanen padi. Bertanam padi telang (Gogo) merupakan salah satu aktivitas pertanian Batin Sembilan semi-nomaden, seperti Tanding. Tanding merupakan tetua kelompok Batin Sembilan yang tidak jauh dari base camp Hutan Harapan, yang secara administrasi masuk wilayah Desa Bungku, Bajubang, Batanghari.

Keesokan harinya, penulis dan beberapa staf Hutan Harapan serta guru Sekolah Besamo menuju ladang Tanding, sekitar 500 meter dari base camp Hutan Harapan, untuk melihat tradisi panen mereka. Panding menanam padi di lahan kering seluas sekitar  1 hektar lahan. Tampak sebagian besar padinya menguning dan siap panen.

“Mau Pak Guru bantu kami panen? ” ucap Milawati dengan riang gembira sambil menunjukan tuai (alat pemotong padi) kepada kami.

Ada ritual khusus sebelum panen padi dimulai oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dari leluhur ini. Bagi Batin Sembilan, melanggar tata cara panen yang dianjurkan oleh leluhur akan membuat hasil panen tidak berkah.

Setiap waktu panen tiba, pemilik ladang memberitahukan anggota keluarga lainnya yang  tidak serumah untuk bergotong royong membantu panen. Sebelum panen dilakukan, mereka melakukan ritual berambun menyan. Prosesinya diawali dengan menuai padi hijau untuk direndang atau digoreng tanpa minyak.

Setelah masak, padi tersebut ditumbuk di dalam lesung untuk memisahkan beras dari kulitnya. Selesai ditumbuk, beras dimakan bersama sama. Sebagian yang tidak dimakan disebar ke ladang padi.

Kegiatan memanen dibagi, kaum perempuan mengetam (memotong) padi yang telah masak, sementara para pria mengangkut dan melakukan kegiatan-kegiatan lain, termasuk menumbuk dengan lesung bila sudah waktunya dijadikan beras.

Hal menarik lainnya, bila umum masyarakat memanen padi dengan sabit, masyarakat Batin Sembilan masih memakai tuai, sejenis pisau kecil yang digunakan dengan jari tengah. Saat memanen, mereka memilih hanya yang telah masak dan kuning. Setiap batang padi yang telah dipotong direbahkan agar terpisah dari yang belum dipanen.

Padi yang sudah dituai dan masih melekat di tangkainya kemudian dikumpulkan dan dipisahkan dengan cara diirik dengan kaki.  Bulir-bulir padi yang telah lepas dari tangkainya kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Setelah kering, padi dimasukkan karung dan disimpan. Bila diperlukan untuk memasak, mereka akan menumbukknya di lesung.

Masyarakat Batin Sembilan berpantang menjual-belikan padi hasil panen. Hasil panen akan dibagi-bagikan kepada keluarga yang membutuhkan.

Penulis: Ardi Wijaya; Penyunting: Joni Rizal

Foto foto: Ardi Wijaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini