Kebijakan manajemen PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) mengamankan zona lindung/konservasi kawasan Hutan Harapan dengan melakukan penertiban terhadap para perambah mendapat respon beragam. Padahal, PT Reki melakukan kewajiban sesuai amanat undang-undang dan peraturan berlaku; sesuai amanat dari pemerintah selaku pemberi izin. Berikut adalah klarifikasi pers resmi manajemen PT Reki terkait penertiban di Pangkalan Ranjau:

PT Reki Pertahankan Zona Lindung dan Buka Pintu Kolaborasi di Zona Produksi

JAMBI â€“ PT Restorasi Ekosistem  Indonesia (PT Reki) mengelola Hutan Harapan seluas 98.555 hektare di Jambi dan Sumatera Selatan  bertujuan untuk memulihkan ekosistem hutan yang telah mengalami degradasi dan deforestasi melalui pendekatan Restorasi Ekosistem (RE).

Mempertimbangkan keberadaan masyarakat di dalam hutan, PT Reki  memprioritaskan dua pendekatan, yaitu: (1) pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat yang sudah ada di dalam kawasan Hutan Harapan dengan mengacu kepada Permen LHK No P.84 Tahun 2016 tentang Penanganan Konflik dan Permen LHK No P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial; (2) melakukan penegakan hukum dengan mengacu kepada UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir PT Reki telah mengedepankan pendekatan persuasif untuk menuju pengelolaan kolaboratif bersama masyarakat yang memenuhi kriteria, sebagai mana diatur oleh peraturan perundang-undangan. Manajemen PT Reki sangat berkomitmen terhadap hak asasi manusia (HAM) dan penerapan prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent), dengan menempatkan aspek penertiban dan hukum secara proporsional.

Terkait informasi yang berkembang, Head of Stakeholder Partnership Division Hutan Harapan Adam Aziz menjelaskan sbb:

Sesuai Peraturan KLHK No P.83 tahun 2016 tentang Penanganan Konflik dan P84 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, PT Reki mengakomodir keberadaan masyarakat di dalam zona produksi (bukan zona lindung/konservasi). Zona produksi bisa dikelola bersama masyarakat dalam kerangka kemitraan kolaboratif.

Ini dibuktikan dengan banyaknya kesepakatan kemitraan/kolaborasi yang sudah dibangun bersama masyarakat, baik Batin Sembilan (SAD) maupun masyarakat migran, yang justru mendapat bantuan dan pembinaan di bidang sosial ekonomi dan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan.

Masyarakat yang sudah melakukan kemitraan dengan PT Reki adalah Kunangan Jaya 1 Kelompok Trimakno (171 KK), Kelompok Narwanto (34 KK), empat kelompok Batin Sembilan (108 KK) dan kelompok Kapas Tengah (13 KK). Masyarakat yang melakukan kemitraan dapat mengelola sendiri lahan hutan dengan konsep agroforestri dan tanaman kehidupan.

Total luas areal kemitraan mencapai 5.710 hektare.Pengelolaan kolaboratif berjalan dengan baik, dan sedang menuju kepada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersinergi positif dengan upaya-upaya restorasi yang sedang diupayakan.

Penertiban akan diambil terhadap pihak mana pun yang melakukan tindakan ilegal dalam kawasan Hutan Harapan, seperti perburuan liar dan pembalakan liar, terutama di zona  lindung. Tindakan penertiban yang dilakukan di Pangkalan Ranjau berada di zona lindung, yang masuk ke dalam wilayah kerja Masai Rusa. Di antara bangunan yang ditindak, salah satunya diduga adalah pondok pelaku illegal logging.

Ada indikasi pemilik pondok akan melakukan pembukaan baru lahan untuk perkebunan di kawasan lindung.Tindakan penertiban dilakukan sesuai prosedur, dengan didahului sosialisasi, pemberian informasi, tindakan persuasif serta meminta mereka yang kedapatan melakukan tindakan ilegal berjanji secara tertulis untuk tidak mengulanginya. Kegiatan ini juga bersama-sama dengan aparat pemerintah.

Tindakan penertiban di zona lindung Pangkalan Ranjau dilakukan sebelum pertemuan antara PT Reki dengan masyarakat SAD dan KLHK di Jambi, bukan setelahnya. Pembicaraan bersama KLHK tersebut membahas poin-poin menuju kesepakatan di zona produksi, bukan untuk zona lindung.

Dalam upaya mengembalikan fungsi hutan, tekanan perambahan di wilayah kerja Masai Rusa akhir-akhir ini semakin kuat dan mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu 3 tahun telah terjadi pembukaan dan pendudukan lahan oleh masyarakat wilayah kerja Masai Rusa, termasuk Pangkalan Ranjau, seluas sekitar 1.593 hektare.

Karenanya, PT Reki sebagai pemegang izin konsesi berkewajiban mengambil tindakan penertiban untuk memenuhi amanah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada indikasi yang sangat kuat, melalui petunjuk awal yang ditemukan, masuknya orang luar ke dalam kawasan Hutan Harapan difasilitasi oleh oknum-oknum tertentu dengan mengatas namakan adat dan SAD.

Diduga kuat terjadi “jual beli” lahan Hutan Harapan yang notabene adalah hutan negara yang izinnya kelolanya diberikan kepada PT Reki. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya temuan kwitansi “jual beli” lahan secara ilegal. Setiap orang luar yang hendak mencari lahan secara ilegal “diminta uang adat” oleh oknum-oknum tertentu.

Meskipun demikian, PT Reki tetap berkomitmen untuk membangun pengelolaan kolaboratif bersama masyarakat Pangkalan Ranjau sepanjang sesuai koridor hukum yang diatur pemerintah untuk kawasan zona produksi.

Adapun warga negara asing yang melihat ke lokasi tindakan penertiban adalah tamu Hutan Harapan yang sedang melakukan survei potensi agroforestri dalam wilayah Hutan Harapan dan kebetulan mampir ke lokasi tersebut.Mereka tidak ada kaitan langsungmaupuntidaklangsungdengan tindakan tersebut.

Komitmen PT Reki terhadap penghormatan HAM dan FPIC telah diumumkan kepada publik pada akhir 2015 di Jambi dan Palembang. Dalam tindakannya, kebijakan manajemen PT Reki selalu mempertimbangkan HAM dan memegang prinsip FPIC secara proporsional. FPIC tidak bisa diterapkan pada aktivitas ilegal, seperti ilegal logging, pendudukan kawasan lindung dan perburuan liar.(*/jri)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini