“Kito sedang beterkas, Bang,” kata Kordi, seorang warga Batin Sembilan dalam kawasan Hutan Harapan pada Selasa (17/1/2017) menjawab keingintahuan penulis saat melihat keramaian di kediaman Hasan Badak, tokoh masyarakat setempat. Beterkas? “Yo, beterkas untuk besale malam kagek (nanti),” tambahnya. Sementara penulis masih bertanya-tanya tentang beterkas, muncul pula kata besale. Apa itu besale?

Kordi memberikan penjelasan singkat. Besale adalah prosesi ritual pengobatan orang sakit dalam komunitas masyarakat adat Batin Sembilan. Kordi dan Hasan Badak adalah dua warga Batin Sembilan yang bermukim dan berkehidupan di Hutan Harapan, tepatnya di Simpang Macan Luar, area Sungai Kandang. Ada sekitar 300 kepala keluarga Batin Sembilan yang hidup di dalam kawasan hutan dataran rendah tersisa di Sumatera ini.

Selain dalam komunitas masyarakat adat Batin Sembilan, terminologi besale juga dikenal dalam komunitas masyarakat adat dan suku pedalaman lainnya di Jambi, yakni dalam komunitas Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas.

Beterkas adalah salah satu prosesi yang harus dilalui sebelum besale. Kordi menjelaskan, beterkas adalah proses persiapan segala kebutuhan besale yang sudah ditentukan oleh sang dukun. Pada proses ini, semua sanak-saudara hadir menyumbangkan seluruh kemampuan, baik moril maupun materil kepada keluarga si sakit yang akan diobati. Beterkas dilakukan pada siang hari, sedangkan besale pada malam harinya.

Di antara yang mereka persiapkan pada saat beterkas ini adalah miniatur rumah ukuran 1 meter. Orang Batin Sembilan menyebutnya balai. Dindingnya terbuat dari bambu yang diraut seperti lidi, sedangkan tiangnya dari batang kelumbi, sejenis tanaman yang batangnya mirip batang salak. Di dalam balai terdapat berbagai jenis kue yang mereka sebut sebagai cace. Pada dindingnya dipasang beragam hiasan.

Salah satunya disebut yarlipan, hiasan yang terbuat dari daun pandan yang dijalin seperti binatang melata bernama lipan dan dipasang melingkari balai. Ada pula lidi yang dipasangi berbagai macam bunga. Masih banyak hiasan lainnya yang disesuaikan dengan jenis balai, yang sekaligus menjadi pembeda antara satu balai dengan lainnya.

Keramaian seperti di rumah Hasan Badak ini terbilang jarang. Pada hari-hari biasa, rumah ini dihuni anak, menantu serta cucu-cucunya. Berdasarkan data dalam kesepakatan kemitraan pengelolaan lahan antara masyarakat Batin Sembilan dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT Reki) sebagai pengelola Hutan Harapan, di Simpang Macan Luar terdapat sekitar 51 kepala keluarga. Tetapi, hanya ada 20 unit rumah semi permanen saja di kawasan tersebut. Warga lainnya tinggal di tempat lain.

Siang itu, rumah yang biasa sunyi menjadi riuh dan ramai oleh kerabat yang berdatangan untuk membantu beterkas dan prosesi besale. Pemandangan yang indah dari sistem kekerabatan yang masih dihargai di komunitas tersebut.

Menjelang sore, di tengah kerumunan orang-orang mempersiapkan balai, Hasan Badak dan dua tokoh adat, Mustar dan Dulhadi, duduk berhadapan dengan keluarga si sakit untuk menerima bungkusan berisi kotak logam persegi empat. Seperangkat bungkusan ini disebut sirih petanyo. Pembicaraan dibuka dengan ungkapan permintaan bantuan dari keluarga Aini, yang emaknya sedang sakit dan butuh diobati. Mereka bertanya, apa yang harus disiapkan lagi? Kata-kata adat mengalir dari mulut Hasan Badak yang ditutup permintaan untuk membuatkan tujuh balai sebagai bagian syarat pengobatan.

Dalam kotak sirih petanyo terlihat sirih, gambir, rokok, tembakau, pinang, cincin dan besi tajam. Sirih pengantar telah dihaturkan oleh keluarga si sakit kepada tokoh adat untuk bermohon bantuan dan diterima oleh Hasan Badak. Hasan Badak selanjutnya menutup acara kecil ini dengan ungkapan, “Kito manusio ko yang bisanyo usaho, segalonyo kito serahkan bae pado Tuhan”.

Sore itu, enam balai yang tergantung di kayu palang atap rumah Hasan Badak menarik perhatian penulis. Ada satu balai lagi yang ditempatkan pada dinding rumah, sebagai tempat bagi pasien yang akan diobati. Ini disebut Balai Pengadapan. Enam balai yang digantung di bawah atap dinamai menurut fungsi dan bentuknya. Ada Balai Pengasuh, Balai Betajuk Kembang, Balai Bebangun, Balai Angkat Sembah, Balai Betanggo Malai, Balai Kurung. Dengan demikian, beterkas dianggap usai dan tinggal menunggu malam untuk besale.

Malam menjelang. Setelah makan bersama, besale dimulai. Seorang perempuan yang sakit telah duduk di bawah Balai Pengadapan. Beberapa perempuan lainnya yang masih kerabat turut mendampingi si sakit. Selanjutnya, secara perlahan ia digiring untuk duduk di bawah Balai Pengasih, yang sebelumnya telah diturunkan oleh beberapa pemuda menjadi hanya 1,5 meter dari lantai.

Sementara itu, suara tabuhan redap (alat musik tabuh seperti kendang atau beduk) secara terpola dengan irama tertentu mengiringi prosesi acara besale yang dipimpin seorang dukun. Sang dukun menghadap ke sebuah wadah api kemenyan. Mengiringi suara tabuhan, dia mulai menari. Gerakan tarinya sekilas seperti silat yang anggun sambil memegang Seludang Gading, pelepah bunga pinang muda. Ia mengelilingi si sakit dengan gerakan tertentu dan sesekali mengitarkan Seludang Gading di kepala si sakit.

Iringan tabuh redap disahuti ratapan dan permohonan dari beberapa tokoh adat. Pantun dan ungkapan-ungkapan adat yang terucap sangat enak didengar.

Di kalangan penonton, anak-ponakan terus mengikuti prosesi dengan khidmat. Perhatian terpusat pada dukun yang saat melakukan pengobatan seperti dalam kondisi trance, kesurupan atau tidak sadarkan diri, tetapi tetap melakukan tarian pengobatannya. Aroma kemenyan menguar di seluruh ruangan rumah, menambah aura mistis. Mungkin sekitar 10 menit ia dalam kondisi bawah sadar sambil menarikan tarian konstan dengan mengentakkan kakinya sambil melangkah pelan. Sementara itu si sakit dengan bantuan dari kerabat lainnya mulai berdiri dan mengikuti gerakan dukun mengitari Balai Pengasih secara perlahan dan sepertinya juga dalam kondisi trance. Kesadarannya muncul setelah diusapi air oleh dukun lainnya.

Hampir seluruh kerabat berdiri mengambil kesempatan untuk mengikuti langkah sang dukun dan si sakit mengitari Balai Pengasih yang tergantung 1,5 meter tersebut. Sehingga yang terlihat adalah barisan berputar dengan langkah simultan dan iringan tabuh redap.

Tabuhan redap perlahan mulai berkurang sejalan dengan munculnya suara ungkapan doa dan patatah petitih. Kecuali si pembawa petatah petitih, semua orang terdiam dan mengambil posisi duduk. Mereka istirahat sejenak untuk melepas lelah termasuk dukun dan si sakit.

Selang 30 menit atau satu jam, mereka berbicara dalam logat Jambi-Rawas (Sumatera Selatan) yang cukup cepat sehingga terkadang sulit dimengerti oleh orang luar. Di sinilah interaksi terjadi antara mamang (paman) dengan penakan (ponakan); antara datuk dan cucu. Kisah pertemuan mereka ditutur mamang ke ponakannya, abang ke adik atau sepupu dengan sepupu secara halus. Kata mereka, di Hutan Harapan inilah upacara sakral besale bisa dilakukan dengan nyaman, tanpa intervensi pihak luar, tanpa pengusiran dan perusakan serta ancaman lainnya.

Prosesi besale dilanjutkan –masih ada lima balai lagi yang akan mereka jalani, dimulai dari Balai Betajuk Kembang, Balai Bebangun, Balai Angkat Sembah, Balai Betanggo Malai, sampai ke Balai Kurung. Proses yang dijalani hampir sama antara satu balai dengan balai lainnya. Hanya bentuk dan fungsi masing-masing balai lah yang membedakannya.

Prosesi di bawah Balai Pengadapan merupakan pembuka dan penutup. Di sini si sakit dan keluarganya memohon penyembuhan penyakit. Di bawah ini pula lah nantinya akan diletakkan alas bagi pasien untuk istirahat setelah menjalani ritual yang panjang, yakni pada sebuah balai-balai bambu.  Di sana diletakkan bakul persegi panjang yang berisi sesajian, seperti penganan, sirih, kapur, rokok, tembakau dan lain-lain. Terdapat pula hiasan dari daun kelapa muda yang di ujung lidinya dipasangi betih (beras yang di bakar).

Prosesi besale memakan waktu cukup panjang. Pada setiap balai butuh sekitar 30-50 menit. Dengan enam balai maka butuh sekitar 4-5 jam. Bila ditambah dengan waktu istirahat akan menjadi sekitar 7-10 jam. Prosesi selesai pukul lima pagi.

Secara simbolik, penulis memaknai bahwa ritual ini menunjukkan penghargaan Batin Sembilan terhadap budaya mereka masih cukup kuat. Besale adalah simbol nilai budaya Batin Sembilan yang masih dipercaya dan diyakini secara utuh. Di sana ada penyerahan total dari penganutnya kepada tokoh adat; ada keyakinan kepada hal sakral untuk membantu mereka mengatasi masalah yang dihadapi; di sana terdapat pernyataan tersirat bahwa mereka nyaman hidup di Hutan Harapan; mereka berharap lingkungan hidup mereka tetap terjaga dengan baik.

Batin Sembilan di Hutan Harapan berada di bawah garis Marga Batin Kandang Rebo Bawah Bedaro. Ada empat kelompok di bawah marga ini, yakni Kelompok Mitrazone, Kelompok Gelinding, Kelompok Tanding dan Kelompok Simpang Macan Luar. Melalui kesepakatan pengelolaan ruang, mereka mendapatkan  kepastian lokasi dan batas wilayah kelola serta mendapat manfaat dari tata kelola dan pemanfaatan hutan untuk tujuan ekonomi, sosial dan ekologi.  Sebanyak 104 keluarga pada empat kelompok Batin Sembilan tersebut menjadi mitra dalam mengelola hutan di areal seluas 1.435 hektare.(*)Penulis:  Fahrudin, staf Departemen Kemitraan Masyarakat Penyunting: Joni Rizal Foto: Ardi Wijaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini