Warga Jambi jalan kaki ke Jakarta menuntut penyelesaian konflik lahan dengan perusahaan. Salah satu tuntutan mereka meminta pemerintah pusat mencadangkan hutan tanaman rakyat. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, lalu mengeluarkan surat keputusan soal penyelesaian konflik di Jambi ini.

Tim verifikasi percepatan penyelesaian konflik sudah turun ke lapangan. Tim mulai pengecekan data ulang ke tiga wilayah, yaitu Kunangan Jaya I, Kunangan Jaya II dan Mekar Jaya Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Mereka dijadwal verifikasi ke tiga wilayah selama seminggu.

Dien Novita, anggota tim verifikasi menyebutkan, mereka sudah verifikasi data ulang berdasarkan data yang keluaran dan didapatkan Pemerintah Batanghari dan Sarolangun pada 2013.

“Kita kembali verifikasi data mulai hasil pengukuran dan data yang diberikan Pemerintah Batanghari dan Sarolangun 2013. Verifikasi ini meliputi pengambilan foto lokasi dan pengecekan kelengkapan KTP dan Kartu Keluarga. Kita juga meminta keterangan dari kepala dusun dan kepala desa untuk verifikasi subjek dan obyek,” katanya kala berada di Kunangan Jaya II.

Dien bersama 15 orang lain tergabung dalam tim verifikasi melibatkan delapan orang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BP2HP, Dinas Kehutanan Jambi, dan Dishutbun Batanghari. Mereka akan menyelesaikan verifikasi ini sementara di dua lokasi. Untuk Mekar Jaya dilanjutkan minggu depan.

Selama verifikasi, katanya, masih banyak masyarakat tidak bisa menunjukkan KTP dan kelengkapan lain hanya menunjukkan surat berdomisili dari kades. “Namun dengan keterangan kades dan kadus kita coba akomodir dahulu.”

Data-data verifikasi ini, akan melalui analisa lanjutan agar bisa mengakomodir keinginan masyarakat memperoleh izin hutan tanaman rajyat (HTR) maupun kemitraaan. Upaya verifikasi ini, guna menindaklanjuti Surat Keputusan dari KLHK soal langkah-langkah percepatan penyelesaian permasalahan kawasan hutan dengan Masyarakat Dusun Mekar Jaya, Kunangan Jaya I dan II. Keputusan ini meliputi penyelesaian sengketa Taman Nasional Berbak terkait keberadaan Desa Sungai Rambut, Rantau Rasau (Sungai Palas), Remau Bako Tuo, Air Hitam Laut, Cemara dan Desa Labuan Pering.

Kepala Dinas Kehutanan Jambi Irmasyah Rahman menyebutkan, dari SK percepatan konflik ini verifikasi hanya tiga lokasi. Untuk TN Berbak, mereka belum menemukan pelaporan masyarakat mengklaim kepemilikan lahan. “Kita menindaklanjuti tiga wilayah yaitu Kunangan Jaya I, II dan MekarJaya. Ini skema pilihan kemitraan dan HTR.”

Verifikasi, katanya, akan meminimalisir kehadiran pemodal mengatasnamakan adat yang mendanai perambahan di areal kerja perusahaan. “Verifikasi harus detail dan hati-hati sekali. Khawatir timbul mafia-mafia perambah yang mengatasnamakan masyarakat adat di lokasi konflik itu,” katanya.

Irmansyah mengatakan, dalam penyelesaikan konflik sesuai Pemenhut No. P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat melalui Kemitraan. Landasan hukum ini, katanya bertujuan melindungi masyarakat agar tak melanggar aturan atau terkena pidana kehutanan.

Menurut dia, tekanan terhadap hutan di Jambi makin meningkat, hampir di setiap kabupaten. Eksodus ke kawasan hutan dan konversi lahan menjadi perkebunan tak terbendung. Konflik sebagian besar tumpang tindih izin dan perambahan ilegal mengalihfungsikan hutan.”

Mengenai penyelesaian konflik PT Asiatic Persada dengan masyarakat Batin Sembilan, katanya, akan penegakan hukum saja karena konflik sudah selesai.

“Kalau Asiatic tinggal masalah BPN, kita akan penegakan hukum. Konflik sudah menemukan titik damai namun ulah oknum mengatasnamakan lembaga adat menyelewengkan sejumlah nominal dari perusahaan,” katanya.

Akhiri konflik

Sebelumnya, 171 keluarga Dusun Kunangan Jaya I, Desa Bungku, Bajubang, Batanghari dan manajemen Hutan Harapan menandatangani kesepakatan pengelolaan kawasan hutan.

Kesepakatan ditandatangani di Dinas Kehutanan Jambi, Januari lalu dihadiri langsung Presiden Direktur PT Restorasi Ekosistem Indonesia, Effendy A Sumardja, sebagai pengelola Hutan Harapan, dan perwakilan 171 warga tergabung dalam Kelompok Trimakno. “Melalui kesepakatan ini kita harapkan masyarakat sejahtera dan Hutan Harapan terjaga sebagai kawasan restorasi ekosistem,” kata Effendi pada acara penandatanganan.

Kelompok Trimakno, salah satu dari masyarakat pendatang yang beraktivitas sosial dan ekonomi di Hutan Harapan sejak 2005. Manajemen Hutan Harapan menyadari, mengelola kawasan 98.555 hektar di Jambi dan Sumsel tak dapat berjalan tanpa melibatkan masyarakat.

Naskah kesepakatan diketahui Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto, dan beberapa direktur seperti Gatot Soebiantoro dan Eka Widodo Sugiri. Hadir pula Pemerintah Jambi dan lain-lain.

Dalam kesepakatan tercantum perjanjian menjaga Hutan Harapan dari aktivitas ilegal, seperti pembakaran lahan, penebangan kayu (illegal logging) dan perburuan binatang liar. Masyarakat dan manajemen Hutan Harapan berkewajiban menjaga hutan terisa secara berkelanjutan dan kemitraan usaha berbasis agroforestry diikuti komitmen tidak melakukan perluasan lagi.

Adapula komitmen menjaga hutan di sepanjang sempadan sungai dan areal konservasi sebagai wujud nyata kesadaran masyarakat menjaga hutan hutan.

Guna mengimplementasikan kesepakatan ini, manajemen Hutan Harapan mengizinkan 1.219 hektar konsesi dikelola langsung bersama masyarakat.

Selama ini, lahan itu sudah ditanami sawit, karet, buah-buahan, pertanian, dan permukiman serta sarana sosial lain. Masyarakat mengakui lahan garapan dan pemukiman mereka di hutan negara bernama Hutan Harapan, dengan izin pengelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia. Dengan kesepakatan ini kedua pihak menyatakan mengakhiri konflik (sengketa) menuju usaha kemitraan.

Di penghujung 2015, Hutan Harapan juga menunjukkan komitmen menggandeng Suku Asli Batin Sembilan menyepakati ruang kelola kehidupan di dalam Hutan Harapan. Kerja sama ini menandai program tanaman kehidupan di Hutan Harapan.

Empat kelompok Batin Sembilan ini berada di bawah garis Marga Batin Kandang Rebo, Bawah Bedaro (Kelompok Mitrazone, Kelompok Sungaiberuan/Gelinding dan Kelompok Simpang Tanding) dan Pasirah Pintang Iman Simpang Macan Luar.

Ruang kelola ini meliputi hutan seluas 1.455 hektar dikelola bersama 390 warga Batin Sembilan. Wilayah kelola itu meliputi pengembangan tanaman kehidupan, pemukiman, fasilitas sosial, budidaya tanaman pangan, kebun campur, pemakaman, hutan bersama, tanaman obat, holtikultura, sepadan sungai dan sumber mata air.

Termasuk pula ke dalam kesepakatan adalah pemanfaatan hasil ikan dengan cara-cara tradisional, seperti memancing, menajur, memasang bubu, menjala. Tak boleh mempergunakan racun, jaring, listrik, atau bom ikan. Kesepakatan lain, jenis hasil hutan bukan kayu.

Tokoh Simpang Macan Luar, Mat Samin, berterima kasih kepada para pihak yang membantu membangun kesepakatan ruang kelola ini. Tokoh lain, Damsi, Depati Marga Batin Kandang Rebo, mengapresiasi Reki yang menunjukkan kepedulian kepada masyarakat. “Kesepakatan ini sangat ditunggu-tunggu,” katanya.

Penyelamatan hutan dataran rendah

Kebijakan restorasi ekosistem ini terlahir dari kekhawatiran hutan alam hilang di hutan produksi. Dari 16 juta hektar hutan dataran rendah Sumatera pada 1900, hanya tersisa sekitar 500.000 hektar, 20% Hutan Harapan.

Hutan Harapan membentang di dua kabupaten di Jambi, yakni Sarolangun dan Batanghari, serta Musi Banyuasin (Sumsel). Dulu, kawasan ini hutan produksi PT Asialog dan Inhutani. Izin pengelolaan diberikan kepada Unit Manajemen Hutan Harapan bentukan Burung Indonesia, Birdlife International dan Royal Society for the Protection of Birds.

Hutan Harapan merupakan sumber air penting bagi masyarakat Jambi dan Sumsel. Sungai Batang Kapas dan Sungai Meranti adalah hulu Sungai Musi yang mengalir melalui Sungai Batanghari Leko. Sungai ini, sumber kehidupan utama masyarakat Sumsel, baik untuk air bersih, perikanan, pertanian, perkebunan maupun sarana transportasi.

Sungai lain adalah Sungai Lalan, merupakan sumber kehidupan masyarakat Bayunglincir sekitar. Sungai Kandang juga berhulu di Hutan Harapan merupakan sumber air penting bagi masyarakat sekitar Sungai Bahar, Muarojambi, Jambi.

Pada kemarau 2015, sungai-sungai yang berhulu di Hutan Harapan mampu menangkap dan menyuplai air bagi masyarakat Sumsel dan Jambi.

Hutan Harapan dihuni lebih dari 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 65 jenis ikan, 52 jenis amfibi, 71 jenis reptil, 728 jenis pohon. Sebagian flora dan fauna ini tak ada di hutan lain di Indonesia bahkan dunia. Sebagian lagi sangat langka dan terancam punah, seperti harimau Sumatera, gajah asia, beruang madu, ungko, bangau storm, rangkong, jelutung, bulian, tembesu dan keruing.

Di hutan inilah Batin Sembilan tinggal. Mereka ini kelompok masyarakat yang hidup di alam bebas, memiliki kearifan mengelola hutan. Mereka memanfaatkan Hutan Harapan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jerenang, madu sialang, getah jelutung, damar, serta tanaman obat-obatan. Hutan Harapan menjadi tempat hidup dan jelajah sekitar 300 keluarga Batin Sembilan.

Manajer Kemitraan Reki Jomi Suhendri menyebutkan, inisiasi berbasis masyarakat dalam mengelola kawasan sudah dilakukan. Sekitar 2.674 hektar wilayah kerja Reki dikelola bersama dengan masyarakat. Kemunculan SK percepatan konflik dengan menyebutkan HTR menjadi pilihan membuatnya meminta pemerintah lebih transparan dan tak tumpang tindih. “Untuk pengusulan HTR, harus wilayah clean dan clear. Untuk Kunangan Jaya I dan II berada areal kerja Reki.”

Pemerintah harus hati-hati

Provinsi Jambi, dengan beragam persoalan terutama tumpang tindih perizinan, laksana negeri menunggu bom konflik meledak. Tak hanya di tiga wilayah itu, di banyak titik dan hampir semua kabupaten di Jambi, konflik perebutan sumber daya alam bermunculan.“Perlu penyelesaian menyeluruh, terpadu dan terintegrasi.”

Rudi Syaf, Manajer Komunikasi dan Informasi KKI Warsi menyebutkan, konflik harus dibagi-bagi menjadi beberapa titik penyelesaian. Pertama, konflik harus berdasarkan tipologi dan karakteristik masyarakat. Berdasarkan pembagian masyarakat berkonflik, katanya, dibagi menjadi tiga yaitu, indiginious people (masyarakat asli dengan pemegang izin maupun kawasan kelola negara, kedua, masyarakat asli (bukan ketegori adat), terakhir, pendatang (migran).

Kedua, berdasarkan waktu konflik juga dibedakan menjadi tiga, konflik sudah lama, baru terjadi dan sedang proses.

Rudi menyebutkan, pembagian konflik ini penting guna membantu penyelesaian oleh pemerintah. Sebelum menyelesaikan konflik, katanya, pemerintah perlu memastikan kejelasan verifikasi data untuk kelompok bersengketa. Jika memang masyarakat asli secara turun-temurun hidup di sana, katanya, tentu mempunyai hak lebih tinggi atas kepemilikan lahan.

Untuk masyarakat migran, ada dua yang perlu dianalisa: pertama, migran miskin hanya menggantungkan hidup pada lahan. Kedua, migran yang menjadi pemodal untuk migran-migran miskin. “Untuk jenis ini perlu sikap jelas dari pemerintah.”

Berdasarkan data kepemilikan lahan di Kunangan Jaya I dan II yang diperolehMongabay, ada beberapa perorangan memiliki lahan hingga 78 hektar. Diduga mereka menjadi perambah pemodal yang membekingi perambahan para pendatang.

Menghadapi para pemodal perambahan ini, katanya, perlu penegakan hukum. Jika tidak, bukan mustahil aktifitas ini menimbulkan konflik horisontal yang melibatkan masyarakat asli dengan pendatang.

Untuk itu, kata Rudi, perlu verifikasi transparan dan partisipatif. “Ini langkah awal harus dilakukan dalam upaya penyelesaian konflik. Verifikasi harus melibatkan semua stakeholder terutama pemerintah daerah, institusi lokal mulai tingkat dusun dan desa, serta lembaga adat.”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini